Paypal Bank Online

bisnis online dengan paypal. klik logo di bawah ini Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

rss

Jumat, 29 Januari 2010

Rabies Tujuh Turunan



Siang ini matahari terasa dekat, mungkin lapisan ozon telah hampir habis. Aku kepanasan berjalan di depan balai banjar menuju rumah tuanku tempat aku tinggal. Liurku terus mengalir melalui indra perasaku yang tetap menjulur. Aku terus menapakkan kakiku di jalan yang memantulkan panasnya matahari.
Semakin dekat aku dengan rumah tuanku, aku berharap cepat sampai. Ke empat kakiku terlalu muda memijaki aspal yang menyengat ini. Sedikit terasa terbakar kulit-kulit kakiku siang ini. Entah mengapa, di depan seekor temanku tergeletak. Tepat di depan gang rumah tuanku.
Ku dekati perlahan, ”siapa tergeletak di atas aspal panas ini” pikirku kecil. “betapa senangnya dia memanjakan kutun pada panas aspal hitam ini” aku tertawa sambil mengintip wajahnya. Kutu-kutu pada punggungnya ku lihat berjalan naik ke ujung bulu yang tertinggi. Ia terus diam, layaknya ia menonton opera perang kecil di pinggangnya.
Aku pun menonton perang kecil, tumpukan kutu pada pinggang temanku itu. Satu persatu perajurit itu naik dari punggungnya dan menempati bulu-bulu yang paling teratas di pinggangnya. Mungkin mereka terganggu dengan panasnya aspal.
Aku mengintip wajah temanku. “Dia siapa lelap pada panas matahari dan aspal” aku bertanya pada hatiku sendiri. Semakin dekat, aku melihat jelas wajahnya. Ia dipanggil Rio oleh tuannya. Aku kenal dengan tuannya apalagi dirinya yang sebangsa denganku. Matanya ku lihat masih membelarak, “dia tak tertidur” pikirku lagi.
Aku semakin tak mengerti setelah aku berdiri di depannya. Ku lihat ia tak bernafas lagi. Tubuhnya datar, tak ada denyutan nafas naik turun. Mengapa dia bisa seperti itu. Matanya membelarak, menyorot ruas jalan di ujung gang itu. Aku semakin penasaran, apalagi ku lihat mulutnya nyang meneteskan busa putih kecoklatan.
Aku mengaung, mencoba membangunkannya tapi ia tak mau bangun juga padahal matanya membelarak. Aku kehilangan semangat untuk bermain dengannya, ku kira dia tak mau bermain denganku. Dia telah dewasa dan aku masih sangat kecil untuk bermain dengannya.
Aku melolong, mengonggong dan terus berteriak memanggil teman-temanku yang lain. Tapi tak seekor temanku datang. Entah mereka dimana aku tak tahu. Atau mereka telah menirukan para manusia yang telah kehilangan otak mereka dan kehilangan budaya mereka.
Mengapa teman-temanku tak ada yang menghiraukan teriakanku. Sakitpun tenggorokanku, tapi tak satu pun yang datang. Mungkin mereka seperti tuan mereka. Masyarakat yang telah malas bergotong royong. Masyarakat yang serba cuek, tak pernah menyapa satu dengan yang lain. Mereka terbius karena kemewahan dan uang yang mereka genggam. Manusia yang sombong, merasa mampu membeli semuanya. Tak ada dari mereka merasa membutuhkan satu dengan yang lain. mereka hanya membutuhkan uang. Tak seperti tuan-tuanku lima puluh tahun yang lalu, mereka saling membantu. Suka duka dihadapi bersama. Tak ada yang memikirkan uang sebagai imbalan. Hanya budi yang luhur.
“Mengapa?” tanyaku dalam hati. Rio masih saja terkapar. Matanya masih terbuka lebar. Cairan putih di bibirnya telah mongering dan beku. Kutu-kutu mulai beterbangan ke arahku. Satu persatu mereka melompati Rio. Aku mencoba menghindar dari dekapan binatang kecil yang akan mengigit kulitku. Menghisap darahku dan hidup dari kehidupanku.
            Seperti tuanku yang terus menghisap kehidupan masyarakat. Dia menjerat leher masyarakat miskin yang telah kelaparan dari keangkuhan jubah dan dasinya. Menggrogoti semua hak masyarakat demi kehidupannya yang berpoya-poya dan mabuk segalanya.
Aku meninggalkan Rio. Menghindar dari sergapan binatang parasit itu. Aku takut kurus seperti masyarakat yang terus di gerogoti oleh tuanku. Aku menjauh, menghindar hingga mereka tak mampu mengejarku. Mungkin mereka jatuh pada aspal yang panas dan tewas kepanasan.
Sekitar lima meter aku berlari ke barat. Ku lihat di depanku seekor temanku tengkurap di selokan kecil. Kepalanya menyentuh air selokan yang bersabun dan berbusa. Ekornya pulas di rumput teki yang hijau. Mulutnya sama seperti Rio. Berbusa yang hanyut dengan busa sabun.
Aku takut melihatnya. Aku baru sadar ternyata mereka telah mati. Ditambah lagi seokor temanku Si Putih yang sama mengeluarkan busa dari lidahnya. Dan di naikkan oleh seseorang yang berpakaian rapi. Mereka memakai jas dan sepatu hitam. Ikat pinggang yang mengikat celana dan baju yang dimasukkan rapi ke dalam celana berteriak dan mengejarku.
“Tangkap” seorang dari mereka berteriak. Aku lari, mereka hendak menangkapku. Aku masuk pada sebuah semak di barat gang rumahku. Aku melewati beberapa pohon pisang dan kayu-kayu kering. Aku masuk pada sebuah jurang dan bersembunyi di tengah semak-semak.
Aku selamat. Mereka berbalik, tampaknya mata mereka tertutup oleh semak atau pohon pisang yank u lewati tadi. Aku melihat mereka dari selah ranting semak yang masih hijau dan daunnya lebat.
---000---
Tak satupun ada teman-teman yang berkeliaran siang ini. Aku sendiri di balai banjar. Entah teman-temanku kemana. Mungkin mereka di tangkap oleh orang-orang yang berjubah dan bercelana putih kemarin. Sepatunya hitam dan berminyak tapi mengapa dia memburu aku dan bangsaku. “Ah entahlah”.
“Fery”. Panggil tuanku dari depan balai banjar. Aku melompat ke arahnya dan menjilati kakinya. Dia ku lihat cemas. Tangannya menggapai tubuhku. Aku di angkatnya dan di rangkul sampai di rumah. Aku tak mengerti mengapa tuanku seperti cemas. Seperti ada hal yang ia takutkan.
Tuanku memberiku sepiring nasi berisi sayuran dan ceker ayam yang biasa dia masakkan untuk aku. Memang tuanku sayang padaku. Dia mengelus kepalaku dan memandangi tubuhku yang kotor penuh daun semak yang tak mau lepas dari buluku.
“Kau makanlah dengan tenang. Dari kemarin kau belum makan. Aku tahu itu, dan aku tahu pula kemarin kau lari ke semak-semak. Bahkan aku cemas bila kau sampai di tangkap oleh petugas rabies itu. Aku takut kau dibunuhnya. Kau sangat lucu. Aku suka bercanda denganmu”. Tuan ku menggumam sendiri sambil mengelus kepalaku. Aku tetap saja melahap nasih dan sayur serta ceker perlahan. Aku lapar sekali, dari kemarin aku tak makan. Aku bersembunyi hingga siang tadi pada rimbunan semak itu.
“Bila kemarin kau tertangkap oleh mereka, siang ini aku takkan bisa melihatmu makan apalagi mengelus kepalamu. Teman-temanku banyak yang sedih, teman-temanmu telah tewas di racun demi memberantas penyakit yang tak jelas datangnya dari mana. Mereka memberantas seluruh anjing di desa ini. Tak peduli anjing siapa, mereka hanya bilang “anjing di jalan adalah anjing liar”. Maafkan aku, mulai siang ini aku akan mengikatmu biar kau tak di rampas oleh racun mereka”. Tuanku mengumam terus. Tapi kini sehelai rantai di pasangkan pada leherku. Ia akan mengikatkan aku pada pohon mangga di halaman rumahku. Aku tahu itu karena sebelumnya aku pernah di ikat di sana.
---000---
Siang yang sejuk. Perut yang telah kenyang. Aku telah terikat di bawah pohon mangga. Sangat sejuk, apalagi aku berguling di atas rumput mutiara yang dingin. Mata ini mengantuk tapi pikiranku tak mau terlelap. Entah mengapa aku terus mengingat kata-kata tuanku dan kejadian kemarin.
Ternyata kemarin semua teman-teman yang biasa ku ajak bermain telah di berantas oleh petugas rabies. Mereka semua tewas di racun. Seperti tahun 1963, kelompok masyarakat yang dikatakan pemberontak di berantas. Mungkin teman-temanku juga mengalami nasib yang sama. Kami tak tahu apa tapi kami di berantas. Tak seekor temanku yang mengidap rabies, toh diberantas pula.
“Apa salah kami?” aku terus terpuruk pada pertanyaan-pertanyaanku sendiri. Kami hidup normal. Bahkan sudah jelas rabies di sebabkan akibat anjing yang mengalami gangguan mental seperti anjing yang setres. Selama aku bebas bermain dengan teman-temanku. Tak pernah aku merasakan beban dalam hatiku. Tapi mengapa aku malah di ikat. Ikatan ini semakin lama akan membuatku jenuh dan aku tak bisa berpikir jernih hingga aku menjadi setres.
Seperti anjing-anjing bangsa lain yang harganya berjutaan dan di kurung dalam jeruji besi. Ganas, setres dan suka menggigil. Mereka yang membawa virus rabies itu pada pulau ini. tapi mengapa bangsaku yang harus di musnahkan. Apakah kami kalah nama seperti Negara ini yang telah kalah dalam segala bidang sehingga mudah dilecehkan oleh bangsa lain? Bangsa ini sering di siksa di bunuh oleh bangsa lain tapi bangsa ini tak melawan. Tak ada yang mau membela mereka yang di bunuh oleh bangsa lain. hanya kain kafan yang melindungi mereka dari bangsa itu hingga ke bangsa ini.
Aku anjing-anjing desa telah di jajah. Aku tak mendapat keadilan dari Negara ini. pantasnya anjing-anjing asing itu yang di berantas. Apa karena kehidupan mereka menghasilkan banyak uang buat Negara ini sehingga mereka tetap setres dan makan enak pada jeruji besi mereka? Mereka tak tersentuh oleh petugas rabies padahal mereka setres bahkan gila. Benar-benar salah sasaran seperti pemberantasan pemberontak tahun 1963 dulu.
Aku masih saja memikirkan para petugas itu. Entah siapa yang menugaskan mereka. Tentunya tak sembarang orang yang menugaskan mereka untuk memberantas kami. Tapi mengapa kami yang diberantas. Kami tak pernah menyebabkan masyarakat terjangkit rabies, bahkan kami tak pernah menggigit masyarakat. Walaupun kami menggigit atau menularkan penyakit rabies, hanya satu atau dua orang yang tewas dan kami mati. Itu tak sepadan dengan gigitan para pejabat koruptor kepada masyarakat. Gigitan mereka akan berdampak tujuh turunan. Seperti anak tuanku sekarang. Ia harus memikul utang Negara sedetik setelah ia keluar dari rahim ibunya. Gigitan pejabat koruptor begitu kejam. Itu yang sebenarnya perlu diberantas karena itu adalah gigitan rabies tujuh turunan.
Mereka bukan hanya menggigit satu atau dua orang. Tapi satu Negara yang digigitnya. Semua orang merasakan gigitannya. Lihat saja manusia-manusia yang tidur di depan teras pertokoan, mereka korban virus rabies tujuh turunan. Hak mereka untuk hidup tentram telah di gigit dan di ludeskan koruptor. Demi sebuah merci atau BMW mereka korbankan masyarakat.
Koruptor dasar kantor. Mereka grogoti dan gigit semua yang ada. Di balik dasi dan kemeja yang bersih mereka bersembunyi. Maling boleh di katakan. Mereka terus menggigit hak masyarakat sampai masyarakat banyak yang kelaparan dan tewas.
Bukannya malah memberantas kami yang tak tahu tentang apa. Bahkan kami hidup sehat dan tak pernah setres. Kami bisa bercanda di balai banjar bersama. Menghirup udara segar dan melihat pohon kelapa yang ke kelapanya jatuh karena telah tua.

oleh INAS Klepon (Klungkung 29 januari 2010)

Tangis


Goresan tinta yang kau berikan malam itu.
Gores hatiku yang sedang mekar.
Hingga bersungkur dalam tanah dan lumpur.
Yang terus did era hujan hingga subuh.
                Aku tak mampu berdiri.
                Apalagi berjalan menyusuri kota.
                Tempat kita bercumbu cinta .
                Ketika mercury menyala dan kelelawar beterbangan.
Aku terus terprungkup.
Tertindih pada tulang punggungku.
Dia terus menusuk dan menghujamkan perih.
Hingga aku tergulai lemas dan merintih.
                Tak pernah ada rasa ini.
                Hanya kesombongan dan keangkuhan.
                Aku kuat dan tak tersakiti.
Aku lelaki yang tak pantas menangis.
Tapi, setelah kau ajari aku cinta.
Kau buat aku seperti wanita.
Lembut dan Suka menangis ataupun meringis.
Bahkan sering mataku teteskan air.
                 Dua malam hati ini tergores.
                Hatiku luka, mungkin bernanah.
Sangat perih.
Dan mataku terus berlumpur.
Aku menangis karena wanita.
Seorang peria yang keras berubah suka meringis.
Menahan sakit dan pilu karena keputusan ini.
Saat kata kasarku terahir, kau terbang.

oleh I Nyoman Alit Suwarbawa
Singaraja, 29 Jan 2010

Senin, 25 Januari 2010

Kenikmatan Pelacur


Aku menyusuri jalan di depan hotel ini tiap malam. Kadang aku diam di depan toko itu. Aku duduk di depan etalase toko 24 jam itu. Aku menanti sesosok pria yang ingin mengabiskan malam denganku.
Kadang aku mengaku namaku Yeni, walaupun aslinya bukan itu. Lelaki itu ku tau tak peduli dengan namaku. Mereka hanya ingin tubuhku ini. Mereka hanya peduli dengan sosok kewanitaanku yang bisa menyelimuti tubuh mereka di malam yang dingin ini.
Ku tahu, kerjaku sebagai wanita penari malam dihina oleh kaumku sendiri. Tapi semua ini harus ku lakukan, tak ada lagi yang aku bisa lakukan selain menjual tubuhku untuk suami mereka. Aku tak punya pekerjaan layak. Aku tak pernah diterima bekerja di sebuah toko kecilpun karena dasar pendidikanku yang kurang.
Dulu aku sempat sekolah di desaku. Sekitar empat tahun aku sekolah sebelum ayah dan ibuku meninggal. Mereka meninggalkanku ketika aku berumur sepuluh tahun. Ku lihat ayahku telah tak berwajah lagi, tangannya putus dan ibuku telah kehilangan kaki dan perutnya. Kata tetanggaku, mereka terhempas oleh truk elpiji yang sedang melaju dari arah barat ketika ibu dan ayahku memikul rumput untuk sapiku di sawah.
Sejak kepergian kedua orang tuaku, aku harus menanggung kedua adikku yang berumur delapan tahun dan enam tahun. Mereka masih sangat kecil dibandingkan aku. Aku yakin waktu itu aku bisa menyekolahkan mereka lebih tinggi dari aku. Biar mereka tak seperti ayahku kelak, memikul rumput dan terampas oleh elpiji di jalan raya. Aku ingin adik-adikku menjadi seorang yang sukses, mereka bisa bekerja di kantor-kantor Negara ataupun suasta. Mereka tak perlu membawa sabit, cangkul atau peralatan tani lainnya. Mereka hanya akan membawa secarik kertas dan sebuah pena. Mereka menggoreskan pena mereka dan memberikan tanda tangan kepada masyarakat.
…000…
Dua hari setelah ayahku meninggal, aku tak lagi pergi ke sekolah. Setiap pagi setelah memasak di rumah untuk adik-adikku, aku pergi ke rumah pak Mardi. Pak Mardi seorang juragan besar di desaku. Dia mempunyai dua istri dan empat orang anak. Tapi istri dan anaknya tak tinggal bersamanya. Dia tinggal seorang diri di rumah itu. Dia memang kaya, aku tahu itu. Dia punya banyak truck pengangkut pasir. Truck-trucknya itu yang berjasa mengangkut pasir untuk pembangunan kota ini. Aku tahu itu dengan jelas setelah kemarin aku diterima menjadi pembantu di rumahnya ini.
Pak Mardi, pria yang tak terlalu tua ini, begitu senang dengan burung. Ia memelihara beberapa burung di rumah ini. Setiap pagi burung-burungnya berkicau, dan ia akan memandikan burungnya jika burungnya telah berhenti berkicau sekitar pukul sepuluh pagi.
Sebelum itu pak Mardi selalu berurusan dengan para supir-supirnya dan pembantu di rumah istri-istrinya. Ia selalu mengeluarkan uang yang cukup banyak untuk membiayai modal pekerjaannya menjadi seorang juragan. Begitu juga ia mengeluarkan uang yang banyak untuk istri-istrinya dan anaknya.
Ketika siang telah tiba, matahari telah tepat di atas kepala, pak Mardi duduk di balai tengah. Dibawah balai ada kolam ikan koi dan gurami. Di sana ia duduk menikmati terangnya siang hari sambil memberi makan ikan koi dan gurami dari atas balai tengah. Terkadang ia juga bernyanyi dan memainkan gitar yang selalu ia taruh di balai tengah itu.
Berselang beberapa jam, ketika matahari telah ingin pulang keberanda. Majikanku itu kembali duduk di ruang kerjanya. Datanglah semua supir dengan membawa uang setoran dan memberikannya kepada majikanku. Majikanku akan sibuk menghitung dan mencatat uang yang ia terima. Dia sibuk bersama supir-supirnya hingga pukul tujuh malam.
Setelah para supir pulang, majikanku mandi, dan langsung makan malam bersamaku. Setelah beberapa hari aku di sini majikanku tak pernah makan dengan istrinya, entah mengapa aku tak tahu. Dia hanya makan sendiri dan ada aku di sini kini selalu menemani.
Ku pikir sangat asik menemani seorang majikan makan, apalagi dia tak pernah sombong. Dia selalu ingin makan bila aku mau ikut makan bersamanya. Aku merasakan kehangatan ayahku ada pada dirinya ketika ia mengambil kepalaku dan mengelusnya lalu menyuruhku makan di depannya.
Aku ingat ketika ayahku dulu menyuruhku makan di depannya sendiri karena aku dulu jarang ingin makan. Aku kangen dengan pelukan ayahku. Aku lihat sosok ayahku pada perabahannya. Ia sosok majikan yang baik tapi aku harus selalu ingat kalau aku hanya seorang pembantu.
Aku pulang setelah menemani majikanku makan. Sekitar pukul delapan, bukan jam yang malam buat aku pulang. Rumahku dekat dengan rumahnya, hanya berjarak dua ratus meter. Aku melewati sebuah jalan kecil yang disebrangnya semak-semak kecil. Walaupun desa kecil tapi jalanan seperti ini masih ramai sampai pukul sebelas malam. Itu sebabnya aku tak pernah takut pulang malam seperti ini.
Setiap aku sampai di rumah, aku telah lihat kedua adikku terlelap dalam gelapnya kamar kecil kami. Mereka berpelukan mereka menghilangkan rasa dingin yang merasuk dari dinding rumah kami. Dinding rumah kami hanya terbuat dengan jalinan bambu. Yah, cukup dingin bila malam hari.
Aku tak pernah sempat untuk berbincang dengan adikku, mereka terlalu capek untuk ku bangunkan. Mungkin mereka bermain sampai sore hari setelah pulang sekolah. Aku tak sempat bertanya tentang sekolah mereka, mereka telah mendengkur dan aku pula cape seharian merawat rumah besar. Apalagi besok aku harus bangun pagi untuk memasakkan adik-adikku sebelum mereka kesekolah. Sebelum aku tidur, aku melihat ke dua buku tulis adikku. Aku mencoba melihat perkembangan mereka di sekolah. Aku tak ingin mereka bodoh.
Malam yang melelahkan, aku tidur di samping adikku. Ku peluk mereka sampai pagi ayam jantan peninggalan ayahku berbunyi.
---000---
Pagi ini aku bangun, adik-adikku masih lelap dengan mimpi mereka. Aku langsung ke dapur. Aku hangatkan air dan langsung memasak dari tungku dan kayu bakar yang di kumpulkan oleh adik-adikku. Setiap pagi setelah memberi uang jajan, aku selalu mengingatkan mereka, jika setelah pulang sekolah mereka harus mencari kayu bakar sebelum bermain bersama teman-teman mereka dan bila mereka perlu sesuatu, aku suruh mereka mencariku di rumah majikanku.
Pukul enam nasi telah masak dan tiga butir telur telah ku goreng kecil-kecil. Ku bangunkan adik-adikku agar mereka sarapan dan bergegas kesekolah. Mereka selalu menurut padaku. Aku senang merawat mereka. Pagi ini aku bertanya pada mereka tentang sekolah mereka. Mereka bilang senang di sekolah. Ternyata mereka tak jauh seperti aku. Aku sangat suka sekolah, tapi aku terpaksa berhenti sekolah. Siapa yang akan memberi kami makan jika aku tak bekerja. Tak ada orang yang terlalu baik di bumi ini.
Ku tanyakan pada mereka, apakah ada hal yang belum mereka bayar di sekolah. Adikku yang lebih besar mengatakan semuanya telah dibayarnya. Mereka hampir tak pernah membelanjakan uang yang aku berikan. Mereka hanya makan dari masakanku di rumah. Uang saku yang aku berikan selama ini selalu mereka simpan di almari, mereka tabung untuk membayar SPP mereka.
Dari dua bulan lalu pertama aku bekerja di rumah pak Mardi, uang mereka masih di simpan di almari. Katanya akan di pakai membayar uang sekolah ketika adikku nanti lulus SD. Aku sangat senang mendengarnya. Mereka sangat mengerti dengan keuangan yang kami miliki untuk saat ini. Mereka mau mengirit diri.
Sebelum berangkat sekolah mereka mencium tanganku dan aku mencium kening mereka. Aku sangat sayang kepada mereka. Mereka adik-adikku. Keduanya laki-laki. Yang lebih besar namanya Padi dan yang paling kecil namanya Adi.
Mereka bejalan ke sekolah dan akupun harus bergegas ke rumah majikanku. Pekerjaanku di sana telah menungguku. Belum lagi membuatkan tuan kopi. Nanti dia marah kepadaku. Aku bergegas pergi ke rumah majikanku.
---000---
Siang ini, majikanku mengajaku pergi ke pasar membeli isi kulkas yang telah ku masak selama seminggu. Baru kali ini aku aku naik BMW milik tuanku. Aku duduk di kiri, enak rasanya. Pertama kali dalam hidupku ini naik mobil, aku sangat senang. aku melewati beberapa warga desaku yang berjalan kaki. Biasanya aku berjalan kaki seperti mereka bila aku pergi membeli persediaan makanan untuk di rumahku. Ini rasanya terbang, aku hanya duduk dan di terbangkan ke kota oleh mobil ini. Sungguh aku terpesona dengan kemewahan yang diciptakan oleh Negara asing ini. Kata majikanku, harganya sepuluh kali harga truck.
Beberapa kali ku lihat kaca spion di sebelah kiriku. Beberapa kali pula ku lihat wajah-wajah kusam yang berjalan kaki ku lewati. Aku menjadi kasihan melihat mereka yang tak pernah manaiki mobil seperti ini. Andai saja, klak aku bisa mengajak adik-adikku naik mobl seperti ini pasti mereka sangat senang seperti aku sekarang ini. Tapi itu hanya bisa jadi mimpi saja.
Lima belas menit, aku telah sampai di pasar, sungguh cepat. Aku turun dari mobil hitam itu, lalu aku masuk ke pasar dengan membawa catatan kecil barang barang yang harus ku bawa ke rumah majikanku. Sedangkan majikanku masih menunggu di atas mobilnya. Aku berjalan sendiri. Aku masuk ke dalam pasar. Ku lihat seorang pedagang tua yang menjual sayuran, aku membeli sayuran di sana.
Beberapa pedagang aku lewati lagi, terasa ada yang memegang bahuku. Aku berbalik. Seorang gadis yang lebih kecil tubuhnya telah berdiri di belakangku dan tersenyum. “Heni apa kabarmu?” Ia bertanya padaku. Aku ingat. Dia adalah temanku dulu di Sekolah Dasar.
Kami berbincang lama sambil aku membeli barang-barang untuk majikanku. Aku sempat bertanya padanya, ternyata dia sekarang telah kelas tiga SMP. Tapi tubuhnya masih ku lihat kecil, mungkin karena tubuhku yang lebih besar darinya. Atau karena aku yang tak sekolah sehingga tubuhku cepat besar seperti orang yang sedang remaja kembang.
Setelah semua barang ku beli, aku kembali ke mobil majikanku dan pulang dengan mobil itu lagi. Di mobil aku mengingat temanku itu, aku berpikir. Jika dia kelas tiga SMP sekarang semestinya aku juga sama sepertinya. Pantaslah adikku sekarang telah kelas satu SMP dan kelas lima SD. Tak terasa kelas empat SD telah lima tahun lalu dan aku telah lima tahun bekerja pada majikanku ini.
---000---
Di kamar tamu majikanku ada sebuah cermin besar, aku pandangi sekujur tubuhku. Aku ingat lagi kepada temanku. “Mengapa tubuhku lebih montok dibandingkan temanku itu, payu daraku telah menonjol besar, pantatku juga telah kelihatan menonjol?” Pikirku dalam hati. Kemudian ku lanjutkan membersihkan lantai yang penuh debu akibat sepatu para supir yang berpasir dan berdebu.
“Hemmm….” Dari belakang ku dengar suara majikanku. Dia memandangiku dengan tajam lalu ia tersenyum kembali. Aku hanya diam, aku tak menaruh rasa apa-apa kepadanya. Dia telah ku anggap sebagai ayah angkatku. Dia sosok yang sangat baik bagiku.
Majikanku mengajakku ngobrol, ia berbicara tentang royek barunya di kota lain. Entah itu di mana, aku tak tahu waktu itu. Kemudian majikanku mengajakku untuk menemaninya pergi ke luar kota sore nanti. Katanya ia ada urusan di sebuah perusahaan besar. Dia ingin mengajakku bersamanya untuk pergi ke kota itu. Aku tak berani menolak ajakan majikanku itu. Walaupun ada kewajibanku menjaga adikku tapi dia terus memaksaku.
Sudah ku coba bilang kalau adik-adikku perlu aku untuk memasak tapi ia bilang hanya sehari. Aku tak bisa menolak lagi. Aku langsung pamitan untuk kerumah mengambil baju dan minta ijin kepada adik-adikku.
Adik-adikku telah besar, aku tinggalkan uang lima puluh ribu rupiah untuk makan mereka. Mereka pula udah bisa memasak jadi aku tak terlalu cemas meninggalkan mereka. Mereka pula mengijinkan aku untuk pergi. Kata mereka “jangan pergi terlalu lama ya kak!” Aku balas dengan senyuman tipis. Aku meninggalkan mereka sambil membawa tas hitam yang berisi pakaian yang akan ku kenakan nanti sore.
Sampai di rumah majikanku, majikanku telah menunggu di ruang tamu. Ia memanggilku, aku bergegas masuk ke ruang tamu, tampaknya ada yang ingin ia katakana lagi. “Kau kenakan pakaian ini aja Hen nanti sore biar lebih rapi!” suruh majikanku. “Baiklah pak”. Aku tak berani menolak apa yang diinginkan majikanku. “Kamu coba saja dulu di kamar saya, kalau kekecilan kita tukarkan lagi sebentar!” suruhnya untuk kedua kali. Aku hanya mengangguk. Aku mengambil bungkusan yang disodorkannya di meja, pergi ke kamarnya dan mencoba pakaian yang diberikannya.
Di kamarnya, aku melepas semua pakaianku hanya tinggal pakaian dalam yang membalut tubuh montokku, aku bercermin kembali, ternyata tubuhku memang montok. Tubuhku banyak tonjolan di bagian ideal wanita. Tubuhku sudah seperti seorang remaja SMA walaupun umurku masih usia SMP.
Ku dengar suara pintu kamar mulai terbuka. Aku panik. Siapa yang membukanya. Aku masih telanjang, hanya pakaian dalam yang membalut tubuhku. “Siapa?” tanyaku. “Maaf Hen bapak lupa kamu di dalam” kata majikanku pelan. Ternyata majikanku yang telah melihatku dari belakang. Matanya memberiak sebentar lalu ia menutup pintu lagi. Entah dia sempat melihat tubuhku atau tidak.
Aku segera mencoba pakaian yang majikanku kenakan. Ternyata gaun merah marun sangat ideal membalut tubuhku. Pakaian itu telah lengkap dengan sendalnya. Aku coba pula gunakan sendalnya. Ku lihat cermin. Aku sangat cantik. Aku terpesona melihat tubuh dan diriku yang sangat cantik. Aku tak sadar aku telah ditunggu oleh majikanku di luar.
“Sudah selesai Hen?” Tanya majikanku. “Sudah pak”. Aku jawab singkat saja. Kemudian majikanku masuk. Ia melihat di sekujur pakaianku dan makin mendekat. Ia terus mendekat, matanya melotot. “Wah kamu cantik sekali sangat pas dengan gaun ini”. Ia memujiku, lalu ia memegang pundakku. Ia terus memujiku. Aku hanyut dalam pujiannya. Siapa dia aku tak sadar. Aku terus dalam pujiannya.
Pujiannya yang menghayutkanku. Lalu tangannya dengan sigap berpindah dari pundak kiri terus ke kanan dan terus berpindah. Hingga aku terus berputar memperlihatkan keindahan tubuhku di matanya. Aku terhanyut. Dia semakin merasuk ke dalam sukmaku. Kata-katanya yang manis, membuat aku terbuai, hingga aku tersungkur dalam dekapannya. Aku ada dalam pelukannya berbaring di sebuah ranjang yang empuk dan hangat. Tangannya mengelus tubuhku dari atas perlahan ku rasakan menurun. Aku semakin mendesah, aku merasakan bulu-bulu leherku makin berdiri.
Bibirnya kini mulai menjamah bibirku. Ia lumat terus bibir tipis gadis kecil. Terus kadang bibisnya ku rasakan pindah di sela leher dan bagian tubuh yang lainnya. Aku terus terangsang. Aku semakin menggenlinjat. Terus menggelinjat di antara nafsu kami yang berdera-dera terus mendera.
Tak sadar, aku terbangun. Gaun merah marun telah tanggal dari tubuhku. Kulihat majikanku telanjang bulat tidur di sampingku. Apa yang aku lakukan itu, dia majikanku. Ku lihat kasur di bawahku terbercak darah. “Darah apa itu” Aku berpikir dengan sendiri.
Itu baru pukul tujuh malam. Aku telah dibuatnya telanjang, setelah ku ingat tangan-tangannya menari di seluruh tubuhku. “Pak”. Aku mencoba membangunkannya dan minta penjelasan darinya. Ia hanya berkata “Kamu cantik”. Lalu tangannya kembali meraih tubuhku, aku dipeluknya lagi. Aku kembali dibuatnya merangrang. Kini aku rasakan kenikmatan sekejap itu sebelum ia mencabut dan mencuatkan cairan putih dari keperkasaannya.
Aku kembali lemas lunglai. Bukan hanya aku yang lemas tapi ia pula tertidur kembali. Aku tidur di bawah tindihannya.
---000---
Sejak sore itu, aku tak mendapatkan jawaban pasti dari majikanku. Ia tak seperti dulu lagi yang baik kepadaku. Bahkan ia mengusir aku dari rumahnya. Setelah aku bertanya padanya yang ke tiga kali tentang kejadian itu.
Aku mencoba menyembunyikan semua cerita buruk ini kepada adik-adikku. Aku tak ingin adik-adikku merasakan kepedihan yang aku rasakan seperti ini. Biar aku sendiri yang menahan derita ini. aku tak mau mereka sampai meneteskan air mata keluguan mereka.
Aku tak pernah menampakkan diri lagi ke rumah majikanku itu. Sebelum aku pergi dia memberiku sepuluh juta rupiah. Aku terima saja. Biar saja dia bilang aku memang jual diri tapi ini untuk hidupku ke depan nanti. Belum tentu aku mendapatkan pekerjaan setelah di usir dari sana.
---000---
Sepuluh hari, aku menganggur di rumah. Aku tak ingin bekerja lagi. Tapi ku lihat adik-adikku yang ceria berpakaian sekolah. Aku jadi sedih. Aku harus kembali mencari pekerjaan. Di tempat lain aku pasti menemukan pekerjaan yang lebih baik.
Akhirnya, aku minta ijin kepada adik-adikku untuk pergi ke luar kota. Mereka ku berikan sisa uang dari majikanku dulu setelah ku ambil dua juta. Aku pergi ke kota ini. Ibu kota di pulau ini.
Di kota ini pekerjaanku tak menentu. Pertama aku ke kota ini, aku bekerja sebagai tamu malam di hotel-hotel dan diantar dengan mobil-mobil mewah. Saat itu aku paling laris. Aku di bayar besar oleh para lelaki seperti majikanku dulu.
Setiap bulan ku kirimkan uang kepada adik-adikku. Tak banyak uang yang bisa aku kirimkan tapi itu cukup untuk biaya mereka sekolah di kota kecil itu. Terahir aku dengar adikku yang paling kecil telah kelas satu SMA dan mendapat juara pertama di semester pertamanya. Kami sering berkomunikasi lewat telepon. Aku sendiri malas untuk kembali ke desa.
Aku senang seperti ini. aku menikmati pekerjaanku. Aku tak bisa pungkiri semua kenikmatan ini, dari petama ku merasakannya dengan majikanku dulu. Kenikmatan yang tak dapat ku bayar dengan uang, nikmat sekali. Pantas saja banyak lelaki yang sampai membeliku untuk mencari kenikmatan ini. Aku sangat menikmati pekerjaan ini. Aku puaskan nafsuku setiap hari. Dan aku telah memeuaskan nafsu ratusan lelaki.
Tak usah lagi kalian memberiku cerita cinta kenikmatan apalagi cara bekerja halal. Aku cukup bekerja seperti ini dan aku merasakan kepuasan dan penghidupan dari keterjepitanku selama ini.
Gedung ini terlalu sejuk untuk menghakimiku, aku memang bersalah dan pantas di hukum karena aku telah merebut kenikmatan beberapa wanita yang telah menghinaku sebagai pelacur lelaki mereka. Aku pantas terkurung seperti burung para jutawan.
oleh INAS Klepon

Minggu, 24 Januari 2010

Sangkar Terbuka

Terbayang kelam kenanganmu di malam itu.
Saat aku mengusap rambut ketiakmu.
Deburan ombak mengiring lincah jemariku.
Meraba, memeluk seluruh tubuhmu.
            Memang hangat malam itu.
            Bibir tipismu meraup bau rokok dibibirku.
            Napasmu kadang tersendat desahan kecil.
            Aku paham desahanmu yang menyentil.
Angin berangsur dari bibir ombak.
Tanganku semakin erat memberi kehangatan padamu.
Di pasir itu, aku memelukmu.
Mencoba melindungimu dari kejamnya alam malam itu.
            Tapi kini… aku hanya tertegun di kamar seorang diri.
            Rokok masih separuh di bibir dingin ini.
            Otak ini melayang mengeliling.
            Aku bingung agaknya pusing.
Aku tak tahu, masihkah semua ini?
Sangkar yang mengurung kita sebelum siang tadi.
Kini bimbang kambang tanpa trali.
Tentang itu… Mengapa aku tak berhenti berpikir?
            Tampaknya kau telah ragu.
            Kau tinggalkan jembatan layu.
            Membuatku seorang diri di sini termenung.
             Menanti matahari pagi yang terbit di timur.
Aku tak menyangka semua ini kambang.
Sangkar yang mengurung kita kini terbuka.
Entah kau telah pergi atau masih mengurung diri.
Aku tak tahu, kau jauh di seberang bukit itu.
            Malam yang kelam ini.
            Dingin yang membawa duka.
            Peristirahatan yang tak nyaman.
            Kau buat sangkar itu terbuka, aku tak mengerti.
Di mana aku harus menapaki?
Jalan yang pantas aku jelajahi.
Kini telah kosong dari fatamorgana keegoisanmu.
Aku terjerat dalam keraguan keputusanmu.
            Masihkah sangkar ini tertutup bagimu?
            Aku ingin bertanya padamu malam ini.
            Tapi, pasukan pengecutku yang telah berjaga.
            Aku takut, ingin kabur bersama malam yang semakin larut.
Aku dan perajurit pengecut ini.
Kini terpenjara dalam keresahan.
Dalam sangkar yang terbuka tapi menyesatkan.
Dalam gulita malam yang meram.
            Aku dan kau kini tersangkar terbuka.
            Hubungan yang mengambang tak pasti.
            Kau masih dalam sangkarku atau kau telah pergi.
            Aku boleh terbang atau kau masih menjeratku.
Aku sungguh tak mengerti kalimatmu tadi pagi.
“Aku tak akan mengganggumu lagi”.
Itu yang membuatku terpuruk malam ini.
Dalam sangkar yang tak pasti.


oleh I Nyoman Alit Suwarbawa
Singaraja, 24 Jan 2010

Kamis, 21 Januari 2010

Sahabatku


Hai… sobatku bagaimana kabarmu?
Pagi ini aku ingat saat kita bersama
Kita tertawa, tersenyum, bercanda bersama
Kini kau entah dimana
Hai… sobat…
Pagi ini kalian dimana?
Aku ingin bercanda bersama lagi
Aku ingin bermain bersama lagi
Hei… sobat…
Bisakah kau dengar teriakan hatiku?
Jika kalian dengar, kabari aku tentang hidupmu
Aku merindukanmu sobat
Sobat… aku tahu kalian akan segera meninggalkan aku
Kalian akan segera lepas dari jeratan pedidikan ini
Kalian akan bebas dan aku masih terjerat dengan kemalasanku
Kalian akan menempuh perjalanan yang lebih melelahkan
Sobat… ingat kabari aku tentangmu
Aku benar-benar rindu kita bersama
Kapan kita akan bertemu lagi sobat?
Sekedar menghabiskan waktu, bercanda dan bercakap
Sobat… memang tempat memisahkan kita
Begitu juga waktu yang membatasi langkah kita
Tapi aku tak pernah melupakan parasmu
Aku akan selalu menjadikanmu sahabatku
Walau hanya dihati
Ku ingin kau selalu mengingatku
Aku yang telah tertinggal bersama teman-teman lain
Ingatlah aku sebagai temanmu, Sobat…

oleh I Nyoman Alit Suwarbawa
Singaraja, 21 Jan 2010
Persembahan untuk sahabat-sahabatku di kelas A angkatan 2006 Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja

Kopi Kenangan dengan Mu

Dingin mencekam pagi ini
Sebuah kopi telah di buatkan oleh ayahku
Aku basih membalut diri dengan selumut
Mendengar jeritan burung yang bertengger di dahan pohon
Kenapa pagi ini begitu dingin
Aku teringat pada pagi itu
Saat kau pertama kali menemani pagiku
Menghangatkan diri di sebuah tungku
Kita bersama berselimut hangatnya tungku dapur
Pagi pertama ku lewati di desamu yang penuh kabut
Saat ibumu menghangatkan air
Sesudah ayahmu meminta kopi untuk menghangatkan paginya
Aku dan kau saling pandang
Tapi malu memandang ketika berbarengan
Aku elus kepalaku menghilangkan rasa Maluku
Aku tak mau kau tahu kalau aku terus ingin memandangmu
Pagi ini, ada kopi di mejaku
Seperti kopi pada pagi itu
Kau buat dengan tanganmu dank au berikan padaku
Di depan tungku penghangat kita bersama
Sayangnya pagi ini kau tak ada disini
Andai kau ada, mungkin pagi ini tak sedingin ini
Kau bisa hangatkan kamar kecil ini dengan senyumanmu
Aku yakin, kau bisa hangatkan aku dari dingin ini
Sayang kecilku, aku ingin selalu denganmu
Melewati pagi bersamamu
Menghirup kopi segelas bersama
Ku ingin kau menyalakan api saat rokok itu ku hirup

oleh I Nyoman Alit Suwarbawa

Singaraja, 21 Jan 2010
Ku tulis puisi ini untuk Isa kekasihku

harapan kami

Kami burung yang baru lahir. Bisa makan bila ada yang menyuapi. Kami belum bisa terbang. Kami baru belajar terbang dari induk-induk kami yang selalu berkenan mengajari kami.
Kami tidak tahu harus berbuat apa untuk meningkatkan apresiasi masyarakat kita terhadap karya sastra. Kami di sini sebagai jentik-jentik yang ingin membangkitkan apresiasi masyarakat terhadap sastra selalu bingung. Entah bagaimana caranya untuk membangkitkan apresiasi masyarakat terhadap sastra.
Masyarakat kita telah mengalirkan budaya tutur dari turun temurun, sehingga sedikit orang yang ingin membaca atau sebuah sastra tertulis. Masyarakat lebih tertarik terhadap sastra yang melibatkan audio visual sebagai sarana penyajiannya.
hal itu bukan tak lazim, masyarakat terkatung-katung dari buta huruf yang melanda negri ini. Sampai saat ini masih banyak masyarakat kita yang terpenjara dan terkatung-katung dalam kemiskinan huruf. Terkatung-katung pula pada pendidikan.
Bukan hanya itu, masyarakat terlebih-lebih memiliki kegemaran yang berbeda. Banyak masyarakat yang datang ke warnet dan membuka mosila namun hanya cat dan cat atau mencari sesuatu yang mereka inginkan. Biasanya masyarakat lebih suka membuka masalah masalah yang berkaitan dengan teknologi ketimbang sastra.
Mungkin dengan coretan kecil ini. Kami bisa meramaikan karya sastra yang ada di negeri Indonesia tercinta ini sehingga membuat masyarakat lebih gemar membaca karya sastra.
Hanya ini yang bisa kami banggakan sebagai tanggung jawab kami yang bernaung di bidang sastra dan bahasa indonesia serta kecintaan kami terhadap bahasa dan sastra Indonesia.
Semoga apa yang kami telorkan di Coretan ini bisa membuat para visitor tidak kapok untuk berkunjung ke Coretan ini.
Kami berharap ada visitor yang berkunjung dan membaca yang kami telorkan di Coretan ini. Tanpa pembaca, coretan ini kambang atau percuma adanya. Karena hanya pembaca yang bisa menikmati coretan ini.
Kami mohon maaf bila ada kesalahan ucapan kami atau kata-kata kami kurang berkenan di hati anda kami mohon di buang jauh jauh.
Terimakasi
oleh INAS Klepon

Cerita seorang Pecandu


Aku pernah berbagi barang ini dengan teman-temanku
Waktu itu mereka mencariku di kosku
Tangan mereka bergetar, kaki mereka lelor dan kata mereka telah terbata-bata
Kelopak mata mereka telah hitam, bibir mereka telah layu dan putih
            Mereka datang berempat. Aku tanya mereka “kenapa?”
            Seorang menjawab, “kami tak mampu membeli barang”
            Aku mesti berbuat apa, aku punya untuk malamku ini saja
            Lebihnya aku tak punya, kalau aku berikan kepada mereka, toh kekurangan
Tapi mereka sahabatku, sebuah jarum suntik kami sering pakai bersama
Itu kami lakukan ketika kiriman uang telah menipis di ATM kami
Ketika barang-barang kami telah kami tukar dengan barang itu
Kami selalu berbagi barang, kami bersaudara, saudara pecandu
            Dalam kegelapan malam itu, ku ajak teman-temanku masuk di kamarku
            Mereka berbaring, mereka menggigil, telah dua hari mereka tak pake barang itu
            Sepeti biasa ketika tanggal 30 sampai tanggal 1 bulan berikutnya, aku sering seperti ini
            Dua hari tak pake, aku juga menggigil, dingin semua yang ada tubuhku
Aku ambil sebuah jarum suntik di bawah ranjangku, jarum yang terbungkus kotak sepatu
Ku sembunyikan jarum itu biar tak ada yang tahu, apalagi mereka tahu kalau aku pemakek
Hanya sahabat yang sama sepertiku yang boleh tahu
Aku tak iangin kedua orang tuaku tahu uang mereka ku pakai seperti ini di kota ini
            Ku buka jarum itu, aku masukkan bubuk putih, ku tambahkan dengan setetes air mineral
            Aku ikat lengan temanku, mereka ku gilir dengan jarum yang sama
            Mereka langsung lemas, barang itu cukup menanggung gigilan mereka untuk malam ini
            Tapi aku tak tahu, apakah aku mampu melewati malam ini tanpa jarum dan serum itu
Semakin ku pikirkan rasa itu, tanganku mulai menggigil
Kini aku kelaparan, bukan lapar nasi atau darah seperti derakula
Tapi aku lapar serum itu, aku ingin serum itu
Semuanya habis, aku tak kebagian, haruskah aku menahan perih ini?
Aku seperti serigala kelaparan
Semua barang ku lempar
Aku menggigil kelaparan
Aku mencengram tanganku
            Kembali ku balikan tubuh kawanku yang terlelap
            Aku menghamburkan buku di atas mejaku
            Seperti anjing kelaparan dalam kerangkeng
            Aku menjerit kesakitan
Terasa ingin pecah kepalaku
Ku tahan semua itu, hanya mencoba
Semuanya tak mampu ku tahan
Aku lemas, duduk di sudut kamar
            Ku cabik sebuah kain,
Ku ikat kedua tanganku sebelum aku tak sadar dan meronta
            Aku ambil sebuah lakban yang biasa ku pakai setiap tanggal 30
            Sepert sekarang…
Mulutku telah ku balut, tanganku telah ku ikat
Aku menjerit, aku merinding, aku kedinginan tapi mereka tak tahu
Teman temanku tertidur lelap, mereka kehabisan tenaga
Aku kini menggigil, dingin dan keram
            Otakku melayang, siapa yang terbayang
Semuanya sama, wajah yang seram
Wajah ayahku yang memakiku
Dia katai aku pecandu
Aku gila mala mini….
Malam ini aku tak sanggup, harus ku dapat semua itu
Ku ambil pisau di samping kursi belajarku
Ku gores tangan kiriku, mengalir-megalirlah darahku
Tergolek aku lemas, aku bisa mengisap darahku
Tapi darahku terlalu banyak mengalir, luka di pergelanganku terlalu besar
Aku lemas setelah ku hisap darah yang deras mengalir dari pergelanganku
Aku tak memikirkan apa lagi,,,
aku terbangun di sebuah bad putih dan infuse di pergelangan tangan kananku
Ternyata aku telah dirumah sakit
Teman-temanku yang telah sadar dari gigilan mereka disampingku
Aku tak tahu, ini salah atau benar
Hari ini hampir saja jasadku pulang ke pangkuhan ayah dan ibuku

oleh I Nyoman Alit Suwarbawa

Singaraja, 21 Januari 2010
 

harta karun

bagi teman2/om/tante, bisa bergabung bersama kami untuk menemukan dolar yang akan bisa anda miliki sendiri. mau gabung??? klik saja link di bawah ini...

Sitemeter

pasang barner dapat dolar

yahoo messenger