Paypal Bank Online

bisnis online dengan paypal. klik logo di bawah ini Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

rss

Selasa, 29 Juni 2010

Sembilan Mimpi


Oleh I Nyoman Alit Suwarbawa
"Suatu saat aku akan pulang Bu. Ketika itu, Aku bawa segudang beras dan kopi. Di tempatku ini, tempat yang baru saja ku injak, banyak tegalan belum digarap. Besok aku akan membajak. Aku tak akan lelah membajak Bu, walau peluhku harus mengucur. Berkatmu, Aku kuat seperti ini Bu."
Nyoman Werdi kembali bermimpi. Lagi-lagi anaknya yang setahun lalu pergi, datang dalam mimpinya. Mimpi yang sama telah tujuh kali sebelumnya. Dan kali ini, mimpi itu menjadi delapan kali. Nyoman Werdi mengisak di ranjangnya meratapi langkah anaknya di malam buta. Ada hujan dan petir menyertai.
Malam yang sama setahun lalu, bulan empat dan tanggal empat. hari senin dan menjelang bulan mati. Wayan Werdi di usir ayahnya. Entahlah, suatu masalah kecil itu membuat kalap ayahnya. Hujan lebat, air di jalan setinggi mata kaki. Belum lagi ada petir yang terus menyambar dan guntur terus menakuti. Tapi, Wayan Werdi yang sedikit kalap, tak mampu memendung dendam. Ia berjalan, semakin jauh meninggalkan rumah.
Nyoman Werdi diam, hanya mengisak melihat anaknya menapakkan kaki di banjir, hujan lebat, petir dan guntur yang menakuti. Tiada berani ia menghentikan anaknya. Takut pada suaminya. Bila berkata, bisa saja ia terusir dari rumah itu.
Malam ini, atau tujuh malam berturut turut. Wajah Wayan Werdi terus masuk dimimpi Nyoman Werdi. Tiap kali Wayan Werdi berkata "Suatu saat aku akan pulang Bu. Ketika itu, Aku bawa segudang beras dan kopi. Di tempatku ini, tempat yang baru saja ku injak, banyak tegalan belum digarap. Besok aku akan membajak. Aku tak akan lelah membajak Bu, walau peluhku harus mengucur. Berkatmu, Aku kuat seperti ini Bu."
Sebelumnya, Wayan Werdi suka berjudi. Beberapa kali menjual tanah yang sertifikatnya di curi dari lemari kakenya. Judi sabung ayam, Judi yang benar-benar ganas, sebentar membuat kaya, sebentar menghanguskan dan membuat gila. Pun setiap hari berjudi, Wayan Werdi tak pernah bekerja. Sebentar pulang untuk makan dan mandi, selebihnya di tempat perjudian. Kadang bermalam di tempat yang dikatakan ditunggui mahluk halus. Mencari makna dari syair toto gelap.
Tak jarang Wayan Werdi ditemui makluk halus, tapi, bagi orang seperti dirinya. Semua itu biasa, bukan hal yang menyeramkan, asalkan ada sedikit bocoran untuk nomor toto gelap. Itu yang membuat Wayan Werdi sering menghakimi para bandar. Kerap ia menang hingga puluhan juta, tapi ia tak kaya. Setiap sore, puluhan juta dicabik-cabik di tempat sabung ayam.
Sampai di suatu malam, ketika ia masuk di kamar ayahnya. Saat itu, dikira ayahnya telah terlelap. Wayan werdi mencoba membuka almari tempat sertifikat pekarangan rumahnya. Tapi, ayahnya langsung memergoki. Satu pengampunan malam itu, berkat sujud ibunya di kaki ayahnya. Wayan werdi diberikan kesempatan tinggal di rumah itu.
Tapi, malam setahun lalu, saat ia harus meninggalkan rumah. Ketika ayahnya terbakar lebam. Saat itu, ia memukul kakeknya yang tak memberikan sertifikat sawah. Teriakan kakeknya membuat gerimis hujan mengalah. Hingga terdengar ka kamar ayahnya. Saat itulah. Wayan dihantam dan dicaci. Pun tak mendapat kesempatan. Ia harus beranjak dari rumah itu.
"Bli, bangun Bli!" Nyoman Werdi mencoba membangunkan suaminya yang tertidur lelap. Namun suaminya terlalu lelah, suara dengkurannya terdengar keras, hingga beberapa kali dibangunkan, bangun pun akhirnya.
"Eya....." Menyahut pelan.
"Bli. Aku bermimpi yang sama. Dari delapan hari yang lalu. Hari ini mimpi ke delapan. Semuanya sama. Mimpi yang sama Bli." Sedikit ketakutan, matanya masih memendung air, tangannya gemetar seraya mengujar semua itu.
"Mimpi apa?" Kantuk suaminya belum pula hilang.
"Anak kita. Wayan Werdi."
"Dia bukan anak kita lagi. Aku tak punya anak penjudi. Aku tak punya anak yang berani memukili kakeknya."
"Tapi, tetap saja dia keluar dari rahimku. Dia juga darah dagingmu Bli." Nyoman Werdi mencoba menyadarkan.
"Tidak." Sedikit menolak.
"Entahlah, apa yang sedang terjadi pada anak kita. Biar Bli tak mengakui lagi, tapi aku tetap peduli padanya. Dia lahir dari rahimku. Dia ku kandung setelah berbulan madu dengan Bli. Dia terbentuk dari tetesan kecil dari Bli ketika tubuh kita akan lunglai saat bulan madu itu."
"Ya." Sedikit membentak. Ia tak menerima semua kata istrinya.
"Dari delapan hari yang lalu, anak kita ku lihat berdiri di kebun kosong, Ia berkata dalam mimpiku "Suatu saat aku akan pulang Bu. Ketika itu, Aku bawa segudang beras dan kopi. Di tempatku ini, tempat yang baru saja ku injak, banyak tegalan belum digarap. Besok aku akan membajak. Aku tak akan lelah membajak Bu, walau peluhku harus mengucur. Berkatmu, Aku kuat seperti ini Bu."
Suaminya mendengar saja apa yang dikatankannya. Suaminya tak mau peduli dengan anaknya. Walau dibilang apalah. Anaknya telah terkutuk di hati suaminya.
"Aku melihatnya menangis. Dia sudah sadar Bli." Bisikannya kecil.
"Oh, Ya? Memang seorang ibu berkasih pada anaknya. Tapi mudah ditipu oleh keluguan anaknya. Aku tahu sifat anak kualat itu. Sebelumnya dia pernah minta maaf, toh juga diulangi lagi." Membombandir istrinya.
"Maafkanlah anak kita Bli!" Nyoman Werdi kembali memelas.
"Aku telah memaafkannya, hanya saja aku tak menganggapnya anak lagi." Nyoman Werdi tertunduk mendengar sahut suaminya. Dia meneteskan mendungnya di bantal penakul kepalanya. kembali ia berbaring. Hingga buah tangis tak mengenang anaknya lagi.
000---000
Malam ini gelih muali datang. Belum sejam Nyoman Werdi tertidur. Baru pukul 01.00 dan dia baru tidur pukul 00.00. Kembali Wayan Werdi datang pada mimpinya. Juga berkata yang sama. "Suatu saat aku akan pulang Bu. Ketika itu, Aku bawa segudang beras dan kopi. Di tempatku ini, tempat yang baru saja ku injak, banyak tegalan belum digarap. Besok aku akan membajak. Aku tak akan lelah membajak Bu, walau peluhku harus mengucur. Berkatmu, Aku kuat seperti ini Bu."
Kata itu mengejutkannya. Ia langsung terbangun dan membangunkan suaminya. Ia menceritakan semua itu lagi. Tapi suaminya hanya menganggap semua itu tak penting. Nyoman Werdi sendiri, sendiri dalam bayangan malam. Tak mau menerima, tapi harus menerima sifat suaminya. Karena janjinya akan selalu patuh kepada suaminya. Apalagi setelah anaknya mencuri dan ia bersujud di kaki suaminya. Saat itu ia berjanji akan selalu patuh pada suaminya apabila suaminya memaafkan anaknya.
Malam ini, ia tak mampu menuntut banyak. Ia keluar ke kamar depan. Berharaf ada siaran televisi yang mampu menghilangkan resahnya. Tapi, siaran televisi tiba-tiba saja tanpa siaran. Semua cendel yang di cari, gerimis dan bergelombang.
            Hantinya jebuh. Ia membaringkan tubuh di depan telepisi. Sejenak menghidupkan radio, tapi siaran telah tutup. sama saja. suara berisik sepeker yang di dengarnya. Hingga ia terkejutkan oleh tiga kali ketukan pintu.
"Permisi Pak. Permisi Buk." Suara kecil terdengar dari depan pintu.
Nyoman Werdi berlari ke kamarnya membangunkan suaminya. Bersama mereka mendengarkan suara itu. "Permisi Pak. Permisi Buk."
"Siapa itu Bli? Kok malam-malam sekali, jangan-jangan." Nyoman Werdi ketakutan.
"Jangan berpikir yang enggak-enggak!" mencoba menenangkan.
Kemudian suaminya bangun dan berjalan ke pintu depan. Nyoman Werdi mengikuti dari belakang. "Permisi Pak. Permisi Buk." Kembali di dengar suara itu. Kali ini, suara itu di sahut oleh suaminya.
"Siapa?"
"Kami dari kepolisian Pak."
Suami membuka pintu, terkejut melihat dua polisi berdiri di depan pintu. "Ada masalah apa Pak? Saya tidak pernah melakukan kejahatan. Mencuri tidak pernah. Berjudi saya tidak bisa. Apalagi menjadi cukong atau bandar. Juga korupsi saya tidak pernah. Saya hanya petani, apa yang bisa saya korupsikan? Toh kalau korupsi, saya mengorupsikan punya saya sendiri. Apa salah saya pak? Saya tak bersalah. Saya tak pernah bawa sabu-sabu, saya bukan pengedar. Saya hanya petani kecil. oh Tidak pak Saya bukan penjahat. Jangan tangkap saya. Jangan Pak! Saya bukan teroris, Saya tak pernah ikut jadi teroris, apalagi di suruh perang atau pegang bom, ngidupin lampu saja saya tak berani. Tanya saja pada istri saya! Saya juga masih suka hidup Pak, biarpun teroris mati dibilang dijemput sama bidadari, tapi lebih baik saya hidup dengan istri saya. Tak mungkin di surga ada bidadari. Orang disurga tempat orang suci, kita tak bisa berbuat jaruh di sana. Maaf Pak....." Tangannya mengepal minta ampun pada bapak polisi. Memang, Suaminya paling takut dengan polisi. dari kecil. Sejak pertama kali melihat polisi dan ibunya menakuti. Bahkan sewaktu kecil, untuk menghentikan dirinya menangis, ibunya menyebut polisi.
"Kami bukan menangkap bapak. Kedatangan kami hanya ingin membawakan kabar." Kata salah satu polisi.
"Oh... Kabar apa pak?" Tanya Nyoman Werdi dan suaminya.
"Benar Ini rumah Wayan Werdi Pak?" Tanya polisi kembali,
"Buat apalagi anak sialan itu Pak? Sudah saya usir dia dari rumah dari dulu. Tak henti-hentinya dia bawa masalah ke rumah."
"Begini Pak. Jadi benar ini rumah Wayan Werdi? Bapak ini orang tuanya?"
"Ya Pak." Sahut Nyoman Werdi.
"Begini. Tadi ada orang yang melapor menemukan mayat di pinggir kebun kopi. Ketika kami datangi ke tempat kejadian, kami temukan korban dalam keadaan tak bernyawa. baru kami lihat dompetnya, dan berisi KTP dengan alamat rumah ini. Korban sedang menyusul ke sini dengan ambulan."
Nyoman Werdi jatuh tersungkur, pinsan. Suaminya pun diam. Dia tak mampu berujar sepatah katapun. Di pikiranya telah salah berbuat. telah salah mengusir anaknya. Salahpun tak percaya pada mimpi istrinya. Mimpi yang selalu datang sejak sembilan hari lalu. Sama pun isinya.
 

harta karun

bagi teman2/om/tante, bisa bergabung bersama kami untuk menemukan dolar yang akan bisa anda miliki sendiri. mau gabung??? klik saja link di bawah ini...

Sitemeter

pasang barner dapat dolar

yahoo messenger