Paypal Bank Online

bisnis online dengan paypal. klik logo di bawah ini Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

rss

Sabtu, 20 Maret 2010

Lutung Yang Picik

Ditulis olih I Nyoman Alit Suwarbawa

Gunung Temu yang berada di Desa Gunaksa merupakan salah satu gunung yang ada di provinsi Bali. Di belahan timur gunung itu, tinggal Sang Misi dan Si Lutung. Sang Misi adalah seekor kambing yang mempunyai beberapa anak.
Pada suatu saat yaitu pada sasih ke lima terjadilah kerak (kemarau) di Bali. Rumput yang dulunya hijau telah kuning dan kering begitu pula pohon-pohon yang dulinya rindang telah berguguran, hanya tinggal batang-batang dari pohon yang dapat dipandang.
Karena kemarau ini, Sang Misi menjadi sulit mencari makanan, begitu juga Si Lutung. Sampai akhirnya Si Lutung mencari Sang Misi untuk membicarakan hal yang sudah direncanakan Si Lutung.
                        Lutung            : Sang Misi…
                        Sang Misi       : Ya, bagaimana Tung? Tumben kesini.
Lutung                        : Duh, dunia sudah kemarau, mencari makan sulit, satupun tak ada pohon yang berdaun apalagi berbuah. Sang Misi dimana mencari makanan?
Sang Misi       : Bih bih, aku juga sulit mencari makan, jauh-jauh sampai mencari makan tapi semuanya sama, kering tak ada yang dapat mengenyangkan.
Lutung            : Setiap setahun, pasti kemarau. Biar tahun depan kita tidak sulit mencari makan, bagaimana kalau kita menanam kacang?
Sang Misi       : Ah… menanam kacang? Bagaimana caranya menanam di tanah yang kering dan keras ini?
Lutung            : Begini begini caranya, kita gemburkan dulu tanah disini. Sang Misi menarik Tengala dan aku yang memegang dari belakang. Setelah tanah gembur baru kita tanam biji kacang bersama. Dalam perhitungan ku, di sasih ke pitu (7) sudah musim hujan, pasti kacang-kacang akan hidup dengan subur.
Sang Misi       : O… bagus juga, ya kapan bisa kita mulai membajak?
Lutung            : Biar lebih cepat, mulai besok saja. Sang Misi bisa besok?
Sang Misi       : Ya bisa…
Perjanjian sudah disepakati untuk membajak sawah besok.
Pagi itu datanglah Si Lutung ke pondok Sang Mong. Lutung langsung mengajak Sang Misi beserta anak-anaknya untuk membajak sawah. Diikatlah Sang Misi di depan tengala (bajak) dan langsung muali membajak.
Beberapa putaran Sang Misi berhenti untuk kencing, Si Lutung langsung mencambuknya.
Sang Misi       : Aduh… kenapa memukul? Aku masih kencing.
Lutung            : Kirain kenapa berhenti, biar tidak berat sebelah atau temannya keberaan makanya aku mukul biar Sang Misi jalan.
Berjalanlah tengala yang ditunggangi oleh Lutung itu kembali. Lagi beberapa saat Lutung Kembali Menghujankan cambuk ke Sang Misi yang lain.
Sang Misi       : Adah… aduh… aku Masih berak Tung…
Lutung            : Ya maaf. Biar tidak berat sebelah makanya aku mukul Sang Misi.
Hati Si Lutung gembira, sudah duduk di atas dan mendapat mencambuk pula.
            Akhirnya selesailah mereka membajak tanah seluas 15 petak. Mereka mulai menebar benih kacang. 5 petak ditanami kacang tanah, 5 petak lagi ditanami kacang panjang, 5 petak lagi ditanami kedelai.
Pada awal sasih ke pitu (7) kacang-kacang sudah tumbuh dengan sedikit lebat. Hujan terus mengguyur gunung itu sehingga memberikan tenaga kepada tumbuhan yang hidup di gunung itu. Kesuburan kacang-kacang terjadi di akhir sasih ke pitu (7). Daun-daunya telah lebat-lebat. Saat itu Si Lutung datang untuk melihat tanaman kacang.
Melihat kacang-kacang sudah subur, Lutung dengan sifat liciknya membagikan hasil kepada Sang Misi. Lutung mendatangi rumah Sang Misi.
Lutung            : Sang MIsi…
Sang Misi       : Woooh… Kenapa Tung?
Lutung            : Cobak lihat kacang-kacang sudah subur. Sekarang kita bagi hasil, aku kasian kepada sang Misi karena sang Misi punya anak banyak, sang Misi makan daun-daunnya dan aku buah-buahnya. aku kasian pada Sang Misi soalnya sang misi kan makan berbanyak dan aku paling berdua.
Sang Misi       : Ooo… ya… kalau begitu bagiannya, aku mau bilang kepada anak-anakku biar mereka tidak memakan buahnya.
Pergilah Sang Misi mencari anak-anaknya untuk memberitahukan hal ini. Si Lutung bahagia karena telah memperdayai Sang Misi. Lutung mendapat bagian yang lebih enak tapi Sang Misi mendapat bagian yang lebih jelek.
            Melihat anak-anaknya dari jauh, Sang Misi berteriak…
Sang Misi       : We… anak-anaku semua, kumpulkan diri kalian di depan ibu.
Setelah semua anak anaknya berkumpul Sang Misi memberitahukan kabar baik itu.
Sang Misi       : Tadi ibu telah diberikan bagian oleh Si Lutung kalau kita mendapat bagian memakan daun dari kacang-kacang yang dahulu kita tanam. Mulai besok boleh kita makan daun-daunnya tetapi jangan sampai memakan buahnya. Sekarang kembalilah…
Hari demi hari berlalu, Sang Misi bersama anaknya setiap hari memakan daun-daun kacang. Baru tumbuh hep, telah dilahap oleh sang Misi kecil. Asal berdaun dilahap.
Begitulah kacang tanpa daun tak akan mau berbuah ataupun berumbi. Hanya tinggal batang batang kacang yang mempesona di ladang itu. Satu daun pun tak dilihat oleh Lutung, apalagi buah.
Padahal menurut perkiraan Si Lutung, kacang-kacang itu seharusnya telah berbuah dan berumbi karena telah lewat 3 sasih. Melihat keadaan ladang mendadak hati Lutung kesal padahal tadinya telah gembira saat memikirkan kacangnya telah berbuah.
Lutung emosi dan mendatangi pondok Sang Misi.
Lutung            : Sang Misi… begitu caramu memakan daun bagaimana kacang-kacang bisa berbuah?
Sang Misi       : duh… kok marah-marah. Yang memberikan bagian kan lutung, sekarang kok marah-marah. Anak-anakku sudah memakan daun-daunnya dan tidah pernah makan buah.
Lutung            : Ya, makan dah semua… aku tidak jadi ambil bagian.
Lutung langsung pergi dengan muka musam dan amarah.
Mengetahui kelicikan Lutung, Sang Misi segera mengumpulkan anak-anaknya.
Sang Misi       : anak-anakku semua, tadi lutung pergi dengan dendam, tak mungkin ia tak mengunakan kelicikannya. O… dia pergi kea arah barat, pasti dia mencari Sang Mong(Harimau) untuk membantunya. Sekarang carilah buah gondola, makan dan poles-poleskan di seluruh tubuh kalian agar terlihat seperti darah. Kalau nanti Sang Mong datang, kalian diam saja, biar ibu yang berbicara kenapa kalian dipenuhi darah. Sekarang carilah dan saling Bantu memerahkan.
Semua anak sang misi bergegas mencari buah gondola dan saling poles.
Sementara itu, Lutung pergi ke barat gunung, disana ia melihat Sang Mong yang sedang menangkap belalang. Dari atas pohon sang lutung berteriak memanggil Sang Mong.
Lutung            : Sang Mong, apa yang kau cari disana?
Sang Mong     : Aku menangkap belalang, perut aku lapar. kamu ngapain kesini Tung?
Lutung            : Pih… dua belas belum pasti kenyang kamu makan Belalang. Pih, anak-anaknya Sang Misi Gemuk-gemuk, kalau makan itu satu saja pasti kenyang selama 5 hari.
Sang Mong     : Beneran??? Dimana tempatnya?
Lutung            : Peh… ngapain aku bohong, di balik gunung ini. o… itu yang hijau disana dia tinggal.
Sang Mong     : Pantes, aku cari-cari tidak pernah ketemu Sang Misi, disana dia tinggal sekarang? Mau kamu mengantar kesana tung?
Lutung            : Aku mau nganterin tapi gendong ya, aku cape?
Sang Mong     : Ya. Aku gak tahu jalan.
Sang Mong berjalan dibawah injakan kaki lutung yang bergendong padanya. Lutung menunjukan jalan dengan menuding-nudingkan tangannya seperti jendral perang belanda pada jaman penjajahan.
Tak lama kemudian sampailah Sang Mong dan Lutung di depan pondok sang Misi.
Berjejer anak sang misi seperti para demontran penglengser Suharto. Dengan menunjukan mulut merah darah, tubuh penuh darah dan pandangan mata tajam seakan algojo pembasmi PKI.
Sang misi menyambut kedatangan Sang Mong dengan senyum mematikan.
Sang Misi       : Hehehe… nyari apa kesini Sang Mong?
Sang Mong     : Aku lapar.
Sang Misi       : men, ngapain kesini?
Sang Mong     : Aku mau makan anakmu.
Sang Misi       : Duh, kalau begitu, tunggu dulu sebelum mau makan anakku, sekarang aku menceritakan kejadian yang tadi. Coba kamu lihat anak-anakku semua berlumur darah. Tadi sudah ada sang Mong dan lutung kesini mau makan anakku tapi sang Mong dan Lutung udah di keroyok dan dimakan oleh anak-anakku. Kepala Sang Mong dan Lutung dibuang ke sumur. Kalau tidak percaya lihat saja ke sumur.
Sang Mong     : Sumur yang mana? (dengan rasa takut ia bertanya).
Sang Misi       : Yang disamping mu
Dengan rasa takut sang Mong menghampiri sumur itu. Hati-hati ia memasikan kepalanya ke sumur dan melihat ke dalam sumur. Tentu saja ia melihat kepala Sang Mong dan Lutung disana karena kepalanya sendiri yang nampak dalam bayangan air dalam sumur. Ia tak tau kalau kepala yang ada dalam sumur adalah bayangan kepalanya. Ia takut dan lari secepat mungkin  dan masing menggendong Lutung.
Lari sang Mong kencang karena ketakutan diiringi teriakan Sang Misi. Sang misi terus berteriak “kejar-kejar, tangkap kakinya, tangkap kepalanya, gigit…? Sang Mong terus lari kesemak-semak, melewati rimbunnya tumbuhan keket yang penuh duri karena ketakutan. Setelah jauh sang Misi dari sang Mong, sampai disini Sang Misi dilupakan.
Lutung yang ada di pundak Sang Mong terjebak dalam rimbunnya diri-duri keket saat sang mong menerobos keket yang rimbun itu. Lutung tak berdaya, tak mampu tuk melepaskan diri dari tajamnya duri-duri keket.
Berselang lima hari Lutung terluntang lantung di semak keket, tanpa makan dan minum, ia lapar dan haus lewatlah sang Satuana (burung keker) mencari makan sambil bernyanyi “keker…keker…keker...”
Mendengar suara Sang Satuana, Lutung berteriak minta tolong.
Lutung            : Sang Satuana…Sang Satuana…Tolong Aku.
Sang Satuana : Yeh… Lutung ngapain disana? Kenapa memanggilku?
Lutung            : Dari lima hari aku terjebak disini, haus dan lapar tak tertahankan lagi. Kalau Sang Satuana masih ingat berteman denganku, tolong aku, tolong angkat aku dari keket ini.
Sang Satuana : Ingat pasti ingat berteman tapi kalau aku menolongmu nanti kamu malah memakanku.
Lutung : Ngapain aku memakan kamu? Jangankan kepadamu, kepada bulumu aku sudah takut, kepada bulumu yang jatuhpun aku takut apalagi untuk memakanmu mana aku berani.
Sang Satuana : Beneran kamu takut?
Lutung            : Bener. Kepada bulumu yang jatuh aku takut apalagi pada dirimu.
Sang Satuana : Ya, sekarang aku turun.
Sang Satuana mulai mengepakkan sayapnya untuk mendekati Lutung di rimbunnya keket itu. Deras angin mewarnai lambaian sayap-sayapnya sebelum mendarat diatas semak hijau itu.
Sang Satuana : Ayo naik Tung!
Lutung            : Dimana naik?
Sang Satuana : Di punggungku, biar tidak jatuh kamu pegang ekorku, injak tegilku dan taruh kepalamu disamping kepalaku.
Lutung            : Ooo… ya…
Naiklah Lutung dipunggung Sang Satuana, dipegang erat ekornya, buur… kepakan sayap Sang Satuana terbang keatas menerjang hembusan udara. Terbang mengelilingi puncak gunung. Melihat tanah lapang Lutung menyuruh Sang Satuana untuk menurunkannya disana.
Lutung            : Nah, disana turun. (sambil menudingkan tangannya ketempat yang dituju).
Sang Satuana : Ya.
Menuju dengan sekali kepakan sayap Sang Satuana sampai di tempat yang ditujukan oleh lutung. Kaki Sang Satuana Sudah menyentuh tanah namun Lutung tak kunjung turun dari punggung Sang Satuana, makin kencang ekor Sang Satuana dipegang Lutung.
Sang Satuana : Turun dong. Berat nih.
Lutung            : Gak mau… gak mau… perutku lapar.
Sang Satuana : Bagaimana sekarang? Apa maksudmu?
Lutung            : Kamu sekarang yang aku makan.
Sang Satuana : Mendusta kamu Tung. Bulu yang jatuh saja aku taku apalagi kepadamu. Mendusta kata-katamu.
Lutung            : Dusta ya dusta. Biarin, perut lapar.
Sang Satuana : Kalau gitu maumu aku hanya bisa pasrah. Biar dagingku manis, aku kasi tahu caranya.
Lutung            : Bagaimana caranya?
Sang Satuana : Bersihkan buluku semua tinggalkan dua bulu ekorku saja kemudian putar aku tiga kali dengan cara memegang ekorku.
Tak ambil pusing Lutung langsung mencabuti semua bulu mulai dari leher sampai ujung pantat kemudian dicabutlah ekornya Sang Satuana satu persatu dan ditinggalkan dua.
Sang Satuana : Nah. Sekarang putar aku tiga kali, dijamin dagingku akan manis kau makan.
Lutung langsung memegang erat dua bulu ekor Sang Satuana dan memutarnya dengan keras. Ngues…puaaag… suara putaran dan terlemparnya Sang Satuana dan jatuh ditengah semak keket.
Lutung            : Bah… bohong kau Sang Satuana (sambil berlari mendekati semak).
Sang Satuana telah masuk dalam semak, bersembunyi dalam rimbunnya semak. Siang ia bersembunyi dan malam keluar mencari makan disaat semuanya telah tertidur lelap.
Setiaap hari dia hanya mencari makan di dalam rimbunnya semak keket, sampai sebulan akhirnya bulu-bulunya kembali tumbuh. Ia hanya keluar pada malam hari saat Lutung tertidur lelap, ia mengepak-ngepakkan sayap yang baru mulai tumbuh. Pagi telah tiba saatnya sayap baru akan terbang, Sang Satuana terbang melewati Lutung yang sedang mencari belalang.
Hari terus berganti, musimpun kini telah berganti. Setahun sudah dunia ini berputar kini kembali ke sasih kelima. Rumput telah kuning kembali bahkan kering, daun-daun pada berguguran hanya tinggal batang dan ranting pada pohon. Tak ada lagi yang enak dimakan di gunung itu, dipandang tak enak. Lutung bingung mencari makanan, ia menangkap belalang yang mampir di keringnya semak.
Sore itu lewatlah Sang Satuana dari selatan ke utara, keker…keker…keker… melihat Lutung menangkap belalang Sang Satuana sengaja menjatuhkan kulit mangga disamping Lutung. Gelubug…
Lutung            : Peh, Sang Satuana ngapain melemparkan kulit mangga kepadaku?
Sang Satuana : Maaf, aku tak tau kau ada dibawah, tadi aku makan mangga dari Nusa Penida sampai disini habis ya aku buang kulitnya.
Lutung            : Dimana dapat mangga?
Sang Satuana : Di Nusa Penida…
Lutung            : Kamu kan temenan sama aku, tolong carikan aku satu ya. Lima hari belakangan ini aku tidak makan.
Sang Satuana : Aduh, aku tidak bisa awakan, aku cuma mampu bawa mangga untuk persediaanku. Mangga di Nusa Penida berbuah lebat sekali Tung, nangka juga. Kalau kamu mau, ikut saja kesana.
Lutung            : Benerran boleh aku ikut dengan mu? Jam berapa kamu berangkat kesana?
Sang Satuana : Sekarang angina mulai kencang, biar bisa nyebrang kesana besok jam Empat pagi aku berangkat. Kalau kamu mau ikut, tunggu aku di Pesisir.
Lutung            : Ya. Besok aku tunggu.
            Keesokan harinya, lutung telah menanti jam 4 pagi di pesisir pantai Kusamba. Lama lutung menanti namun Sang Satuana tak kunjung datang, dari pagi hingga siang, dari siang berganti sore belum juga Sang Satuana datang. Hingga lutung kelaparan, kehausan. Sore mau berganti petang Sang Satuana datang dari selatan. Keker…keker…keker… geleeebbuuug… kulit nangka jatuh di samping Lutung.
Lutung            : Sang Satuana, kok datang dari selatan? Jam berapa lewat keselatan, kok ga jadi ngajak aku?
Sang Satuana : Tadi pagi jam tiga kamu ga ada di sini. Sudah aku panggil tapi kamu ga ada, ya aku tinggal.
Lutung            : Kamu ga bawa buat aku?
Sang Satuana             : Ga bisa.
Lutung            : Besok beneran ajak aku ya? Jam berapa besok berangkat? Aku tunggu dah disini.
Sang Satuana  : Angin terus kencang, besok jam 3 tungguin disini biar tidak ada angin.
Lutung            : Ya.
            Malampun berlalu tanpa arti, begitu cepat jam 3 pagi. Lutung telah siaga dipantai menanti kedatangan Sang Satuana namun kali ini Lutung diperolok lagi oleh Sang Satuana. Hingga matahari bangun dari timur, Sang Satuana tak kunjung tiba. Lutung sangat kelaparan, kasihan juga melihatnya. Mataharipun berada diatas Lutung, Lutung kelaparan dan kehausan entah kemana perginya Sang Satuana.
            Menyerong barat matahari mengaga, Sang Satuana tepat datang jam empat sore. Keker… keker…keker…
Lutung            : Kok baru datang Sang Satuana?
Sang Satuana : Kamu lihat tadi angin kencang sekali? Sekarang sudah reda anginnya baru kita berangkat.
Lutung            : Sekarang? Bisa kita sampai disana? Nginep disana ya?
Sang Satuana : Ga nginep, satu jam kesana terus nyari makanan langsung balik jam enam kita sudah sampai disini.
Lutung            : Oya,,, biar cepat ayo berangkat. Tapi bagaimana caranya aku ikut denganmu?
Sang Satuana : Sama seperti dulu, kamu naik di punggungku, pegang ekorku, taruh kepalamu dipundakku, dan injak cekerku. Ayo cepet naik.
            Lutung naik dengan sigap dan memegang erat ekor Sang Satuana. Bur… Sang Satuana telah terbang ke angkasa. Di angkasa sang satuana sengaja terbang ke kanan dan kekiri angin kencang sekali. Lama tak sampai-sampai hingga matahari mulai diatas air laut.
Sang Satuana : Uduh Aku haus sekali,  angin kencang.istirahat dulu yuk?
Sang Lutung   : Dimana istirahat? Aku juga haus sekali.
Sang Satuana : Ooo… Tu ada batu, dibatu itu saja.
Lutung            : Ya dah.
            Sang Satuana pun mulai mengepakkan sayapnya untuk turun. Cengkraman kaki Sang Satuana sangat kokoh di batu itu. Kepalanya merunduk seperti minum air tapi sesungguhnya ia hanya ingin meyakinkan Lutung kalau ia haus. Lutung mulai turun dan mengagakan mulutnya ke air.
            Saat lutung sedang asik membasahi tenggorokannya, sang satuana terbang semakin tinggi.
Lutung            : Sang Satuana jangan tinggalakan aku! Kau mau kemana? Jangan tinggalkan aku!
            Lutung menangis, ia tak bisa terbang ataupun berenang. Ia menangis dengan keras hingga didengar oleh penyu kecil. Datanglah penyu kecil menghampiri Lutung. Lutung langsung menyambut dengan kebohongannya.
Lutung            : Ye… dari tadi dipanggil kok hanya yang kecil datang? Cari penyu yang paling besar suruh kesini, ada hal penting yang ingin disampaikan.
Penyu kecil     : Ya Jro.
            Pergilah penyu kecil mencari kakeknya yang sangat besar. Berkumpullah penyu dari kecil hingga yang terbesar menuju Lutung. Sampai muncul di permukaan lutung langsung berpura kenal.
Lutung            : Ye… dari kemarin aku tunggu disini kenapa Jro Wayan baru datang?
Penyu              : Ada apa Jro Wayan kesini.
Lutung            : Ya, aku mau bercerita sebentar. Kemarin Betara yang ada dibali mengutus aku untuk menghubungkan pulau Bali dengan pulau Nusa Penida agar tidak terpisahkan. Kalau begitu, lautan ini akan diratakan dengan batu, ne bukti batu yang baru keari aku bawa kesini. Setelah aku ingat dengan Jro Wayan, kalau aku jadikan lautan ini sebagai dataran, Jro Wayan tidak ada tempat untuk mencari makan.
Penyu              : Ya, Jro Wayan. Bisa Jro Wayam membantu kami? Kami tidak setuju kalau laut ini dijadikan dataran.
Lutung            : Bener tidak setuju? Kalau begitu, aku bisa memohonkan kepada Betara di Bali agar mengurungkan niatnya untuk meratakan ini. Tapi antar dulu aku ke pesisir agar aku bisa menghadap Betara. Sekarang Jro Wayan yang aku naiki dan yang lain membantu Jro Wayan.
            Cos… naiklah Lutung di cangkang penyu. Beberapa kilo dari batu penyu mulai tenggelam, Lutung membentak seakan raja menyuruh para budak. Hingga sampai dipesisir lutung menyuruh penyu besar untuk ikut dengannya namun yang lainnya boleh kembali mencari makan.
Lutung            : Nah… sudah sampai, yang lain boleh kembali namun Jro Wayan harus ikut biar ada saksi, biar saya tidak dikira berbohong.
Penyu                         : Ya,,, berat Jro, ini sudah di pasir tolong turun.
Lutung            : Nah… jalan dulu, panas nanti kakiku kebakaran bagaimana bisa menghadap Betara?
Sampailah di bawah pohon ketapang. Penyu yang kepayahan dan tak mempunyai tenaga lagi dibalikkan oleh lutung hingga keempat kakinya menghadap keatas, penyu tak berdaya untuk melawan.
Penyu              : Jro, kenapa saya dibalikkan? Bagaimana saya bisa berjalan?
Lutung            : Mau kemana?
Penyu                          : Menghadap Betara.
Lutung            : Betara dari mana?
Penyu                          : Jro berbohong kepada saya?
Lutung            : Aku lapar sudah lima hari tidak makan… sekarang aku mau makan kamu. Kalau aku tidak berbohong aku akan mati di tengah laut. Hehehe…
            Karena Lutung tidak bisa bencabik cabik penyu, ia pergi mencari Sang Mong. Beberapa jam datanglah Lutung dengan Sang Mong.  Sang Mong mulai mencabik-cabik, setiap potongan daging Penyu dibawa ke atas pohon ketapang oleh Lutung. Sampai semua daging yang telah sang Mong cabik habis dibawa keatas pohon, Sang Mong tidak mendapat bagian daging, cangkang dan tulang yang ada di bawah yang menjadi bagian Sang Mong. Sembari Sang Mong meminta kepada Lutung, kembali kaki penyu yang dilemparkan oleh Lutung, semua hanya tulang. Hingga lutung kekenyangan dan ketiduran dipohon.
            Melihat Lutung tidur di atas pohon, Sang Mong marah dan mengoyah pohon kelapa itu hingga lutung terjatuh dan pingsan. Karena Sang Mong kesal telah dibohongi oleh Lutung, Lutung diikat di bawah pohon ketapang dengan pohon Bun…
            Lutung mulai ingat, lagi terlelap, pusing kepalanya karena terjatuh. Belum sadar betul ia terikat disana. Datang Asuajug dan kencing di muka lutung tanpa sengaja karena lutung tak terlihat lebat ditutupi Bun. Lutung marah-marah kepada Asuajag.
Lutung             : Ye… Asu ajag ngapaik kencing dimukaku?
Asuajag           : Maaf, kamu tak terlihat olehku…
Lutung            : Kok aku terikat, siapa yang mengikat? Tolong buka ikatanku!
Asuajag           : Ga mau, nanti aku yang dibunuh…
            Asuajag lari dengan kencang karena ketakutannya dengan Sang Mong…
            Lutung terus terikat disana, namun ada yang menyndul-nyundul pantat Lutung, lutung bertanya.
Lutung            : siapa yang dipantatku? Coba perlihatkan dirimu!
            Munculah rayap dari pantat Lutung, Luung langsung minta tolong.
Lutung                        : Ye, Jro tetani… tulong dong lepaskan akatanku!
Rayap             : Ya…
            Dimakanlah bun yang mengikat Lutung sampai putus. Setelah lutung lepas lutung menyuruh rayap untuk berkumpul agar ia tidak bingung untuk menyembah balas budi atau permohonan terimakasi.
Lutung            : Jro Tetani semua, ayo berkumpullah agar aku tidak bingung untuk menyembahmu. Berkumpullah disini menjadi satu.
            Rayap demi rayap berdatangan, berkumpul dan membentuk gunung. Lutung yang jahat tak mungkin pernah balas budi, setelah Rayap menggunung mulut lutung langsung mengaga dan melahap Rayap yang menggunung itu. Namun tak semua Rayap terlahap, dua rayap terpental ke bawah daun Bambu dan Teep.
            Disanalah Rayap berjanji, jika daun Bambu dan Teep terus menutupinya agar tak terlihat oleh lutung dia tida akan pernah memakan daun Bambu dan Teep.

2 komentar:

heru on 20 Maret 2010 pukul 23.45 mengatakan...

artikel yang menarik, mengajarkan kita agar terhindar dari hal yang picik. mantap sobat

Nyoman Ilang on 21 Maret 2010 pukul 11.26 mengatakan...

Heru@ ya,,, tapi sekarang dongeng hampir tak pernah dipakai sarana menidurkan anak. Padahal banyak banget nilai norma yang tertanam pada dongeng.


Posting Komentar

 

harta karun

bagi teman2/om/tante, bisa bergabung bersama kami untuk menemukan dolar yang akan bisa anda miliki sendiri. mau gabung??? klik saja link di bawah ini...

Sitemeter

pasang barner dapat dolar

yahoo messenger