Paypal Bank Online

bisnis online dengan paypal. klik logo di bawah ini Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

rss

Jumat, 29 Januari 2010

Rabies Tujuh Turunan



Siang ini matahari terasa dekat, mungkin lapisan ozon telah hampir habis. Aku kepanasan berjalan di depan balai banjar menuju rumah tuanku tempat aku tinggal. Liurku terus mengalir melalui indra perasaku yang tetap menjulur. Aku terus menapakkan kakiku di jalan yang memantulkan panasnya matahari.
Semakin dekat aku dengan rumah tuanku, aku berharap cepat sampai. Ke empat kakiku terlalu muda memijaki aspal yang menyengat ini. Sedikit terasa terbakar kulit-kulit kakiku siang ini. Entah mengapa, di depan seekor temanku tergeletak. Tepat di depan gang rumah tuanku.
Ku dekati perlahan, ”siapa tergeletak di atas aspal panas ini” pikirku kecil. “betapa senangnya dia memanjakan kutun pada panas aspal hitam ini” aku tertawa sambil mengintip wajahnya. Kutu-kutu pada punggungnya ku lihat berjalan naik ke ujung bulu yang tertinggi. Ia terus diam, layaknya ia menonton opera perang kecil di pinggangnya.
Aku pun menonton perang kecil, tumpukan kutu pada pinggang temanku itu. Satu persatu perajurit itu naik dari punggungnya dan menempati bulu-bulu yang paling teratas di pinggangnya. Mungkin mereka terganggu dengan panasnya aspal.
Aku mengintip wajah temanku. “Dia siapa lelap pada panas matahari dan aspal” aku bertanya pada hatiku sendiri. Semakin dekat, aku melihat jelas wajahnya. Ia dipanggil Rio oleh tuannya. Aku kenal dengan tuannya apalagi dirinya yang sebangsa denganku. Matanya ku lihat masih membelarak, “dia tak tertidur” pikirku lagi.
Aku semakin tak mengerti setelah aku berdiri di depannya. Ku lihat ia tak bernafas lagi. Tubuhnya datar, tak ada denyutan nafas naik turun. Mengapa dia bisa seperti itu. Matanya membelarak, menyorot ruas jalan di ujung gang itu. Aku semakin penasaran, apalagi ku lihat mulutnya nyang meneteskan busa putih kecoklatan.
Aku mengaung, mencoba membangunkannya tapi ia tak mau bangun juga padahal matanya membelarak. Aku kehilangan semangat untuk bermain dengannya, ku kira dia tak mau bermain denganku. Dia telah dewasa dan aku masih sangat kecil untuk bermain dengannya.
Aku melolong, mengonggong dan terus berteriak memanggil teman-temanku yang lain. Tapi tak seekor temanku datang. Entah mereka dimana aku tak tahu. Atau mereka telah menirukan para manusia yang telah kehilangan otak mereka dan kehilangan budaya mereka.
Mengapa teman-temanku tak ada yang menghiraukan teriakanku. Sakitpun tenggorokanku, tapi tak satu pun yang datang. Mungkin mereka seperti tuan mereka. Masyarakat yang telah malas bergotong royong. Masyarakat yang serba cuek, tak pernah menyapa satu dengan yang lain. Mereka terbius karena kemewahan dan uang yang mereka genggam. Manusia yang sombong, merasa mampu membeli semuanya. Tak ada dari mereka merasa membutuhkan satu dengan yang lain. mereka hanya membutuhkan uang. Tak seperti tuan-tuanku lima puluh tahun yang lalu, mereka saling membantu. Suka duka dihadapi bersama. Tak ada yang memikirkan uang sebagai imbalan. Hanya budi yang luhur.
“Mengapa?” tanyaku dalam hati. Rio masih saja terkapar. Matanya masih terbuka lebar. Cairan putih di bibirnya telah mongering dan beku. Kutu-kutu mulai beterbangan ke arahku. Satu persatu mereka melompati Rio. Aku mencoba menghindar dari dekapan binatang kecil yang akan mengigit kulitku. Menghisap darahku dan hidup dari kehidupanku.
            Seperti tuanku yang terus menghisap kehidupan masyarakat. Dia menjerat leher masyarakat miskin yang telah kelaparan dari keangkuhan jubah dan dasinya. Menggrogoti semua hak masyarakat demi kehidupannya yang berpoya-poya dan mabuk segalanya.
Aku meninggalkan Rio. Menghindar dari sergapan binatang parasit itu. Aku takut kurus seperti masyarakat yang terus di gerogoti oleh tuanku. Aku menjauh, menghindar hingga mereka tak mampu mengejarku. Mungkin mereka jatuh pada aspal yang panas dan tewas kepanasan.
Sekitar lima meter aku berlari ke barat. Ku lihat di depanku seekor temanku tengkurap di selokan kecil. Kepalanya menyentuh air selokan yang bersabun dan berbusa. Ekornya pulas di rumput teki yang hijau. Mulutnya sama seperti Rio. Berbusa yang hanyut dengan busa sabun.
Aku takut melihatnya. Aku baru sadar ternyata mereka telah mati. Ditambah lagi seokor temanku Si Putih yang sama mengeluarkan busa dari lidahnya. Dan di naikkan oleh seseorang yang berpakaian rapi. Mereka memakai jas dan sepatu hitam. Ikat pinggang yang mengikat celana dan baju yang dimasukkan rapi ke dalam celana berteriak dan mengejarku.
“Tangkap” seorang dari mereka berteriak. Aku lari, mereka hendak menangkapku. Aku masuk pada sebuah semak di barat gang rumahku. Aku melewati beberapa pohon pisang dan kayu-kayu kering. Aku masuk pada sebuah jurang dan bersembunyi di tengah semak-semak.
Aku selamat. Mereka berbalik, tampaknya mata mereka tertutup oleh semak atau pohon pisang yank u lewati tadi. Aku melihat mereka dari selah ranting semak yang masih hijau dan daunnya lebat.
---000---
Tak satupun ada teman-teman yang berkeliaran siang ini. Aku sendiri di balai banjar. Entah teman-temanku kemana. Mungkin mereka di tangkap oleh orang-orang yang berjubah dan bercelana putih kemarin. Sepatunya hitam dan berminyak tapi mengapa dia memburu aku dan bangsaku. “Ah entahlah”.
“Fery”. Panggil tuanku dari depan balai banjar. Aku melompat ke arahnya dan menjilati kakinya. Dia ku lihat cemas. Tangannya menggapai tubuhku. Aku di angkatnya dan di rangkul sampai di rumah. Aku tak mengerti mengapa tuanku seperti cemas. Seperti ada hal yang ia takutkan.
Tuanku memberiku sepiring nasi berisi sayuran dan ceker ayam yang biasa dia masakkan untuk aku. Memang tuanku sayang padaku. Dia mengelus kepalaku dan memandangi tubuhku yang kotor penuh daun semak yang tak mau lepas dari buluku.
“Kau makanlah dengan tenang. Dari kemarin kau belum makan. Aku tahu itu, dan aku tahu pula kemarin kau lari ke semak-semak. Bahkan aku cemas bila kau sampai di tangkap oleh petugas rabies itu. Aku takut kau dibunuhnya. Kau sangat lucu. Aku suka bercanda denganmu”. Tuan ku menggumam sendiri sambil mengelus kepalaku. Aku tetap saja melahap nasih dan sayur serta ceker perlahan. Aku lapar sekali, dari kemarin aku tak makan. Aku bersembunyi hingga siang tadi pada rimbunan semak itu.
“Bila kemarin kau tertangkap oleh mereka, siang ini aku takkan bisa melihatmu makan apalagi mengelus kepalamu. Teman-temanku banyak yang sedih, teman-temanmu telah tewas di racun demi memberantas penyakit yang tak jelas datangnya dari mana. Mereka memberantas seluruh anjing di desa ini. Tak peduli anjing siapa, mereka hanya bilang “anjing di jalan adalah anjing liar”. Maafkan aku, mulai siang ini aku akan mengikatmu biar kau tak di rampas oleh racun mereka”. Tuanku mengumam terus. Tapi kini sehelai rantai di pasangkan pada leherku. Ia akan mengikatkan aku pada pohon mangga di halaman rumahku. Aku tahu itu karena sebelumnya aku pernah di ikat di sana.
---000---
Siang yang sejuk. Perut yang telah kenyang. Aku telah terikat di bawah pohon mangga. Sangat sejuk, apalagi aku berguling di atas rumput mutiara yang dingin. Mata ini mengantuk tapi pikiranku tak mau terlelap. Entah mengapa aku terus mengingat kata-kata tuanku dan kejadian kemarin.
Ternyata kemarin semua teman-teman yang biasa ku ajak bermain telah di berantas oleh petugas rabies. Mereka semua tewas di racun. Seperti tahun 1963, kelompok masyarakat yang dikatakan pemberontak di berantas. Mungkin teman-temanku juga mengalami nasib yang sama. Kami tak tahu apa tapi kami di berantas. Tak seekor temanku yang mengidap rabies, toh diberantas pula.
“Apa salah kami?” aku terus terpuruk pada pertanyaan-pertanyaanku sendiri. Kami hidup normal. Bahkan sudah jelas rabies di sebabkan akibat anjing yang mengalami gangguan mental seperti anjing yang setres. Selama aku bebas bermain dengan teman-temanku. Tak pernah aku merasakan beban dalam hatiku. Tapi mengapa aku malah di ikat. Ikatan ini semakin lama akan membuatku jenuh dan aku tak bisa berpikir jernih hingga aku menjadi setres.
Seperti anjing-anjing bangsa lain yang harganya berjutaan dan di kurung dalam jeruji besi. Ganas, setres dan suka menggigil. Mereka yang membawa virus rabies itu pada pulau ini. tapi mengapa bangsaku yang harus di musnahkan. Apakah kami kalah nama seperti Negara ini yang telah kalah dalam segala bidang sehingga mudah dilecehkan oleh bangsa lain? Bangsa ini sering di siksa di bunuh oleh bangsa lain tapi bangsa ini tak melawan. Tak ada yang mau membela mereka yang di bunuh oleh bangsa lain. hanya kain kafan yang melindungi mereka dari bangsa itu hingga ke bangsa ini.
Aku anjing-anjing desa telah di jajah. Aku tak mendapat keadilan dari Negara ini. pantasnya anjing-anjing asing itu yang di berantas. Apa karena kehidupan mereka menghasilkan banyak uang buat Negara ini sehingga mereka tetap setres dan makan enak pada jeruji besi mereka? Mereka tak tersentuh oleh petugas rabies padahal mereka setres bahkan gila. Benar-benar salah sasaran seperti pemberantasan pemberontak tahun 1963 dulu.
Aku masih saja memikirkan para petugas itu. Entah siapa yang menugaskan mereka. Tentunya tak sembarang orang yang menugaskan mereka untuk memberantas kami. Tapi mengapa kami yang diberantas. Kami tak pernah menyebabkan masyarakat terjangkit rabies, bahkan kami tak pernah menggigit masyarakat. Walaupun kami menggigit atau menularkan penyakit rabies, hanya satu atau dua orang yang tewas dan kami mati. Itu tak sepadan dengan gigitan para pejabat koruptor kepada masyarakat. Gigitan mereka akan berdampak tujuh turunan. Seperti anak tuanku sekarang. Ia harus memikul utang Negara sedetik setelah ia keluar dari rahim ibunya. Gigitan pejabat koruptor begitu kejam. Itu yang sebenarnya perlu diberantas karena itu adalah gigitan rabies tujuh turunan.
Mereka bukan hanya menggigit satu atau dua orang. Tapi satu Negara yang digigitnya. Semua orang merasakan gigitannya. Lihat saja manusia-manusia yang tidur di depan teras pertokoan, mereka korban virus rabies tujuh turunan. Hak mereka untuk hidup tentram telah di gigit dan di ludeskan koruptor. Demi sebuah merci atau BMW mereka korbankan masyarakat.
Koruptor dasar kantor. Mereka grogoti dan gigit semua yang ada. Di balik dasi dan kemeja yang bersih mereka bersembunyi. Maling boleh di katakan. Mereka terus menggigit hak masyarakat sampai masyarakat banyak yang kelaparan dan tewas.
Bukannya malah memberantas kami yang tak tahu tentang apa. Bahkan kami hidup sehat dan tak pernah setres. Kami bisa bercanda di balai banjar bersama. Menghirup udara segar dan melihat pohon kelapa yang ke kelapanya jatuh karena telah tua.

oleh INAS Klepon (Klungkung 29 januari 2010)

0 komentar:


Posting Komentar

 

harta karun

bagi teman2/om/tante, bisa bergabung bersama kami untuk menemukan dolar yang akan bisa anda miliki sendiri. mau gabung??? klik saja link di bawah ini...

Sitemeter

pasang barner dapat dolar

yahoo messenger