Aku lupa cara mengikis peluh dalam kardus
Menatap bentuk bulan
kemudian melamun sendu saat senja.
Mungkin rabun telah mencangkokkan bakteri berkarat seiring
tua masa mudaku. Seperti tandusnya perut pengemis yang tak tamat SD.
Keriput memang tak merusak kulit agama kita. Tapi
apakah doa akan selamanya tak pernah lekang oleh waktu?
Yang membuatku takut.
Ada gundah dalam hijau pirasat burukku.
yang buta akan warna biru dalam kelabu retina langit.
layaknya cerita pelangi yang langka namun indah.
Tegal Saat pernah bercerita cinta di bukit tegal ambengan.
Tentang riwayat kakek yang tajir pada zamannya.
Ibu selalu bercerita tentangnya dalam kantuk mereka,
bercerita lantang tentang bening epos masa lalu.
Serta tangis sendu pelantun tembang balu.
Kini aku semakin jauh.
Dan aku kini berpeluh untuk berguru.
Tak akan ada yang tahu kalau di tempat baru. Alkohol selalu memabukkan
alim serta kolotnya pendirian masa remajaku.
juga aliran hitam sebagai lencana sahabat karib.
Sungguh aku tak akan lagi merasa jemu.
Seperti kemukus senja yang terbungkus kaleng-kaleng sisa pembungkus sarden.
Sebelum pulang, aku akan membingkiskan sesuatu.
Di kota baruku untuk harapan baru kita.
Singaraja, 2009
dG
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar