Sahabat-sahabatku yang berduka
Merasa terluka ketidakadilan
Atau sebuah egoisme kemanusiaan
Ingat kita saling menyanyang
Sahabat-sahabatku yang terluka
Lupakan semua duka
Ingat sebelum kita menjadi sahabat
Dan kita belum akrab
Sahabat-sahabatku yang terluka
Sinarnya buat kita bersama
Dijadikannya kita suatu keluarga
Walaupun kecil tetap kita kluarga.
Sahabat-sahabatku, sebagian sedang berduka
Karena keheningan telah murka
Melihat kita tak pernah bersama
Mungkin ia menguji kita
Sahabat-sahabatku yang tercinta
Sebuah realita kita sedang menderita
Beribu ujian kini datang menerpa
Jangan lupakan, kita masih keluarga
Sahabat-sahabatku tersayang
Mungkin kita tak terlihat masih menyayang
Sehingga diberikanNya kita jalan melayang
Membuat kita kehilangan kasih sayang
Sahabat-sahabatku, kita dalam genggaman alam
Dulu terbang menembus awan meraih bintang
Kini badai telah menerjang
Kita jatuh, mulai tenggelam kelam
Sahabat-sahabatku, ini hanya sebuah ujian
Lupakanlah semua gundah
Bila perlu ludahkan sajalah
Biar tak ada sesal di antara kita tau dendam
Sahabat-sahabatku, masihkah kita keluarga?
Kuharap bukan kedok kebahagiaan
Sadarlah…
Kecil, tapi kita satu keluarga
I Nyoman Alit Suwarbawa,
Singaraja, 20 feb 2010
Akhiri Kisah Pilu Kawan
Puisi ini aku persembahkan kepada seluruh keluarga Maknyos yang pernah berjaya dengan pementasan drama komedi Kolor Pocong Perjaka.
Saya sadari keseharian kita sekarang sudah berbeda. Itu tidak terlepas dari permasalahan perkuliahan kita yang telah terpisah. Dengan adaya waktu dan ruang yang memang menghalangi kita bersama jangan sampai ada perpecahan di antara kita.
Sangat menyesal saya, apabila keluarga kecil ini saling bermusuhan karena masalah yang tidak jelas siapa yang salah. Apalagi mengingat kegiatan kita yang cukup dewasa untuk menghidupkan keluarga kecil ini, saya menjadi sedih melihat saudara tidak menyapa saudaranya. “Inikah suatu keluarga yang kita bina dua setengah tahun yang lalu?” Pikiran saya terus mengambang seperti itu.
“Lalu untuk apa kita menghidupkan keluarga dan kita pergi tinggalkan nama begitu saja?” Seperti itu lagi pikiran saya. Sepertinya kita hidup di dunia perjudia. Kita berebut harta warisan hanya untuk perjudian. Kadang saling tebas, saling maki, saling hina, bahkan bermusuhan. Sesungguhnya kita hanya kehilangan. Itupun bila kita sadari.
Perjudian hanya kebahagiaan sesaat. Kita kehilangan segalanya. Kehilangan sodara, warisan, bahkan nama. Itu kehidupan orang-orang pejudian. Kita sebagai keluarga kecil, tak punya warisan tapi punya nama yang pernah dikagumi walau tidak lebih dari 42 hari. Tapi itu nama kita. Itu keluarga kita.
Mari bersama kita bangun sebuah cita-cita yang dulu. Bukan ketenaran, bukan kemenangan tapi suatu persaudaraan, suatu keluarga yang bahagia.
1 komentar:
Aku hanya ingin nama itu tak tenggelam dalam kebisingan. Seperti jangkrik yang kalah dalam bungbung aduan, mati tanpa gigi dan tak mampu bernyanyi di malam lagi.
Posting Komentar